Seputar Informasi

Sumber informasi Pendidikan dan informatika

Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia

Perkembangan pendidikan Islam pada masa orde baru dimulai dari kebijakan pada pasal 4 TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang memuat kebijakan tentang isi pendidikan. Untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu pendidikan harus dimiliki oleh rakyat sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
Pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama secara murni.
Perkembangan pendidikan pada orde baru selanjutnya dikuatkan dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.  
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta berarti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, dan menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, serta terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan Nasional masih diatur oleh UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak kalangan sudah tidak sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, Pasal 11 yang menyatakan tentang "Daerah berkewajiban menangani pendidikan". Atas dasar kritikan itulah, disusun dan disahkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 Juli 2003 terdapat sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah desentralisasi dan kerancuan tanggung jawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua, ketidakjelasan tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat, ketiga tanggungan biaya pendidikan antara pemerintah dan masyarakat, keempat pendidikan formal dan non-formal, kelima sentralitas agama, keenam UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking. Ketujuh, pembebanan sumber daya pada masyarakat, kedelapan adanya dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan kesepuluh etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan .
Kesepuluh persoalan tersebut, yang menjadi perdebatan hangat dan menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau pendidikan agama, pasal 3 dan 4, terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap peserta didik pada setiap lembaga/ satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik agama yang seagama”. Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) dan Majelis Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan atas pasal tersebut dengan alasan bahwa pasal dan ayat tersebut membelenggu gerakan kemandirian sekolah-sekolah swasta yang realitanya sangat “plural”. Selain itu, mereka beranggapan bahwa undang-undang tersebut terlalu menekankan pendidikan agama di sekolah-sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan, etika dan etos kerja dilupakan.
Tak pelak pro-kontra ini mendapat respon dari berbagai pihak, diantaranya adalah tulisan Ali Masykur menjelaskan bahwa Undang-undang terbaru ini (UUSPN nomor 20 Tahun 2003) sudah cukup akomodatif dan representative bila dibandingkan dengan UU No. 12 tahun 1989, sebab selama ini ada pandangan dan reaksi masyarakat yang menyoroti dasar filsafat pendidikan, tujuan pendidikan yang dianggap tidak mencerdaskan, campur tangan pemerintah, aturan yang tidak demokratis dan memihak agama tertentu .
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa pendidikan Islam di Indonesia masih banyak pro dan. Oleh karena itu, Pendidikan Agama di Indonesia terutama pendidikan Islam harus disatukan artinya pendidikan Islam harus dikembalikan kepada dasar dan tujuan pendidikan Islam.