Oleh : Jamridafrizal
Kelahiran pendidikan agama yang
sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran /mata kuliah tersenddiri ataupun
integralistrik berakar pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang di
kembangkan pemerintah penjajahan.penddidikan yang demikian ini dulu di nilai
massyarakat sebagai bentuk penyelanggaraan pendidikan yang tercerabut dari akar
budaya bangsa.ibarat bangunan ,pendidikan telah di bangun di atas ruang hampa.
Akhirnya Masyarakat Indonesia menuntut pembelajaran agama kembali di
ajarkan.usaha menghidupkan kembali eksisitensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah
terbit UU No4 Tahun 1950 dan peraturan bersama Mentri Peendidikan dan Mentri
Kebudayaan dengan Mentri agama tanggal 15 juli 1951 yang mnjamin adanya
pendidikan agama di sekolah negeri.hingga kini ,model pembelajaran semacam ini
terus bberlangsung di seluruh jenis pendidikan.kecuali di Madrasah yang
muatannya di tambah dengan materi keagamaan khas Madrasah,dan kecuali
penddidikan keagamaan karena kandungan ilmu keagamaanya yang lebih luas telah
menggantikan mata pelajaran pendidikan agama.
Sejarah Pendidikan Agama
Sejarah muncul
tenggelamnya pendidikan agama di sekolah-sekolah setiap binaan Belanda menurut
catatan Zuherimi dkk,(1983) dapat di rinci dua fase:
- periode sebelum Indonesia Merdeka
- periode sesudah Indonesia Merdeka
Pada periode zaman penjajahan Belanda,di
sekolah –sekolah umum secara resmi belum di berikan pendidiksn agama.hanya pada
fakultas-fakultas Hukum telah ada Mata Kuliah Islamologi,yang di maksudkan agar
Mahaiswa dapat mengetahui Hukum-hukum dalam islam dosen-dosen yang memberikn
kuliah Islamologi tersebut pada umumnya bukan orang –orang Islam.buku –buku
atau Literaturnya di karang sendiri oleeh para orientalis.
Pada masa penjajahan Belanda itu sebenarnya
sudah ada usaha-usaha dari para Muballigh baik secara perserangan ataupun
tergabung dalam organisasi –organisasi islam,dengan cara bertabligh di muka
para siswa dari sekolah –sekolah umum seperti,MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs,sekarang sama dengan SMP ),AMS (Algemene Midllebare School,sekarang
sama dengan SMA) dan juga di Kweekshool (sama dengan sekolah guru).biasanya
mereka memberi pendidikan agama tersebut pada hari minggu atau pada hari
jum’at,setelah berakhirnya jam-jam pelajaran atau waktu-waktu sore.pendidikan
Agama secara tidak resmi tersebut,kadang-kadang mendapatkan reaksi dari
guru-guru yang tidak senang dengan Islam tetapi walaupun begitu dalam
kenyataanya perhatian Murid-murid sangat besar karena mereka sangat membutuhkan
santapan rohani.
Pada periode berikutnya yakni pada zaman penjajahan Jepang keadaaan
agak berbah,karena telah mulai ada kemajuan dalam pelaksanaan pendidikan agama
di sekolah-sekolah umum.hal ini di seebabkan karena mereka mengetahui bahwa
sebagian besar bangsa inddonesia adalah memeluk Agama Islam,maka untuk menarik
hati /simpati dari umat islam,penddidiakn Agama Islam mendapat perhatian .
Di Sumatera,Organisasi-organisasi Islam
mnggbungkan diri dalam Majelis Isslam tinggi .Kemudian Majelis tersebut
mengajukan usul kepada pemerintah Jepang,agar supaya di sekolah-sekolah
pemerintah di berikan pendidikan Agama,sejak sekolah rakyat 3 Tahun.dan
ternyata usul ini di setujui tetapi dengan syarat tidak di sediakan anggaran
biaya untuk guru-guru agama.milai saat itu secara resmi pendidikan agama boleh
di berikan di sekolah-sekolah pemerintah, tetapi hal ini baru berlaku untuk
sekolah-sekolah ddi Sumatera saja.Sedangkan di daerah-daerah lain masih belum ada
pendidikan Agama disekolah-sekolah pemerintah ,yang ada hanyalah penddidikan
budi pekerti.
Masyarakat Indonesia sudah sejak dulu
mempunyai ke inginan agar agama di belajarkan di sekolh-sekolah. Hal itu karena
mereka khawatir Agama tidak sempat atau tidak mampu oleh karena satu atau
beberapa sebab di bebankan pembelajarannya di pundak setiap keluarga.
Sebenarnya,pendidikan Agama sejak
Indonesia merdeka Tahun 1945 telah mulai di berikan di sekolah-sekolah
negeri.pada masa kabinet RI pertama,Tahun 1945 oleh Mentri P.P & K
(Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan )yang pertama,yakni almarhum Ki Hajar
Dewantara telah mengirim surat edaaran ke daerah-daerah yang isinya
menyatakan,bahwa pelajaran budi ppekerti yang telah ada pada masa penjajahan
Jepang,di perkenankan diganti dengan pelajaran agama.Tetapi berhubung surat
edaran itu belum mempunyai dasar yang kuat,maka pelaksanaannya hanya bersifat
suka rela saja.
Kemudian pada
Tahun 1946 atas perjuangan umat islam yang duduk dalaam B.P.K.N.I.P(Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).maka pendidikan agama dapat diberikan
di sekolah-sekolah negeri dengan syarat,bila diminta oleh sekurang0kurangnya 10
orang murid.
Pelaksanaan pendidikan agama
tersebut,diserahkan kepada Mentri agama dengan persetujuan Mentri P.P.& K
untuk meralisir hal tersebut,di
keluarakan penetapan bersama antara Mentri agama dengan Mentri PP&K
No.12585/K.7 tanggal 12 desember 1946 ( agama) dan No.1142 /BHG.A tanggal 12
Desember 1946 ( PP &K ).karena isi penetapan –penetapan bersama ini masih
banyak ke pincangan ya,maka di keluarkan peraturan bersama yang berupa tahun
1951 dengan No.176781 kab.tanggal 16 juli 1951
(PP & K ) dan No.K/1/9180 tanggal 16 juli 1951 (Agama ) yang memuat
10 pasal tentang pelaksanaan tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah
negeri.
Dengan di keluarkannya peraturan bersama
tersebut,secara resmi pendidikan agama telah di masukan di sekolah-sekolah
Negeri maupun swasta mulai dari SR sampai SMA ddan juga sekolah-sekolah
kejuruan.
Pada tahun 1960 pendidikan agama di
sekolah –sekolah di Indonesia mulai mendapatkan status yang agak kuat,dalam
ketetapan MPRS No.II /MPR/1960 bab II pasal 2 ayat (3) yang berbunyi:
“menetapkan
pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat
sampai Universitas-Universitas Negeri,dengan pengertian bahwa murid-murid
berhak tiddak ikut serta,apabila murid /murid dewasa menyatakan keberatan”
adnya tambahan kalimat:murid berhak tidak
ikut serta dan seterusnya,adalah hasil perjuangan PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang pada saat itu mulai berkuasa di Indonesia sedangkan
merekaadalah penganut paham athies,yang dengan sendirinya mereka enolak adanya
pendidikan agama.
Dengan adanya tambahan kata-kata
tersebut,maka status pendidikan agama di inddonesia masih bersifat
fakultatif,yang berarti tidak mempeengaruhi kenaikaan kelas.
Penddidikan agama di perguruan Tinggi baru
ddi mulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS no.II /MPRS/1960 yang
berarti sebelum itu secara formalnya pendidikan agam baru di berikan di sekolah
rakyat sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas saja.
Adapun dasar operasionalnya,pelaksanaan
pendidikan agama ,di perguruan Tinggi tersebut di tetapkan dalam UU No.22 tahun
1961 tentang perguruan tinggi dalam bab III pasal 9 ayat 2 sub B,terdapat
ketentuan sebagai berikut:”pada perguruan Tinggi Negeri di berikan Pendidikan
Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian,bahwa Mahasiswa berhak tidak
ikut serta apabila menyatakan ke beratan.
Setelah meletusnya G 30 SPKI pada tahun
s1965,kemudian di adakan siding umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu
status andidikan agama di sekolah-sekolah berunah dan bertambah kuat.Dengan
adanya ketetapan MPRS No.XXVII /MPRS /1966 Bab 1 pasal 1 yang
berbunyi:”menetapkan pendidikan agama mmenjadi mata pelajaran di sekolah
–sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”
Dengan adanya
ketetapan tersebut,maka berarti embel-embel /kata-kata tambahan yang merupakan
hasil perjuangan PKI di hapuskan bersamaan dengan di larangannya partai komunis
ddi Indonesia
.
Sejak saat itu
pendidikan agama merupakan mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah mulai dari
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi,dengan pengertian bahwa mata
pelajaran pendidkan agama ikut menentukan naik / tidaknya seorang murid.
Menurut Tap MPR No.!V /MPR /1973 jo.TAP.MPR
No.1V/ MPR/ 1978,dan Tap MPR No.II /MPR/ 1983 tentang GBHN,pendidikan agama
semakin dikokohkan kedudukannya dengan dimasukannya DalamGaris-garis Besar
Haluan Negara sebagai berikut:”diuasahakan supaya terus bertambah sarana-sarana
yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa,termasuk pendidikan
agama yang dimasukan kedalam
kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah DAsar sampai dengan
Universitas-universitas Negeri”.
Pembelajaran agama di sekolah umum
tersebut semakin kokoh oleh berbagai terbitan perundang-undangan hingga
lahirnya UU Sisdiknas No.20/2003.
Permasalahan Pendidikan Agama
Pendidikan agama dimaksudkan untuk
membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagai mana diamanatkan dalam
undang-undang.Pendidikan agama ini didefisinikan menjadi usaha-usaha secara
sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan
ajaran islam.ini dibedakan dari ajaran agama yang dianggap hanya pemberian
pengetahuan agama kepada anak,agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.
Sejak peraturan perundangan Indonesia
mewajibkan materi “pendidikan Agama”dibelajarkan ,selama itu pula tidak diatur
disana meengenai agama apa dan untuk siapa.Seringkali pendidikan agama tersebut
diberikan secara mismatch (salah
taruh).Misalnya siswa Katolik di sekolah negeri diberi pellajaran agama
islam.Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen atau Hindu diberikan materi
pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang ddianutnya.Praktek
pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai tidak proposional,juga
telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (bahasa islamnya pemurtadan
siswa-siswa)
Selain itu,tujuan pendidikan agama juga
dipertanyakan.Masyarakat mengharapkan agarpendidikan agama selain membelajarkan
ibadah,juga diharapkan dapat membangun moral siswa.Belakangan ini banyak orang
beranggapan bahwa agama telah diberikan secara salah arah:yakni lebih
mementingkan daripada moral.Dengan melihat contoh pendidikan agama / moraldi
negeri lain,justru pelajaran morallah yang jauh lebih pentung dan perlu
ditekankan,karena tujuan keberagamaan itu memang adalah soal moralitas.Sampai-sampai
banyak yang menyarankan agar pendidikan agama didekatkan pada masalah moralitan
saja.Masalah ibadah,karena factor kemajemukan tadi,lebih baik diserahkan ke
pada keluarga.Beberapa yang lain menganggap masalah moralitas ini bermuara pada
masalah pendidikan agama yang tidak diberikan secara optimal,yang disebabkan
oleh karena pendidikan agama tidak pernah diberikan secara serius melalui
kecocokan antara agama guru dan siswa.Jika agama sudah diberikan secara
proposional,artinya serius,kejadiannya mungkin akan berbeda.
Sebenarnya kalau dicermati lebih
teliti,alibi kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience) dan moralitas,yang
disebabkan oleh karena agama diajarkan secara mismatch (tidak cocok antara agama guru dan siswa) habyalah salah satu
sebab kelemahan pendidikan agama.Yang benar adalah,adanya factor-faktor lain
yang turut serta menjadi penyebabnya.Di beberapa sekolah yang agama sudah
diberikan secara cocok antara agama guru dan siswa,kelemahan-kelemahan pendidikan
agama yang sama tetap sajaa menghantui.Faktor-faktor pelemah utama lainnya
misalnya:soal keterbatasan waktu dan metode pembelajaran.
Bagaimanakah membelajarkan agama dengan
durasi waktu 2 jam perminggu,sementara lingkungan sekolah dan setelah pulang ke
rumah / masyarakat,seorang siswa menghadapi suasana yang berbeda,bahkan
cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat aagama yang diterimanya sewaktu
berada di sekolahnya.Apalagi jika guru pendidikan agama tidak menjelaskan
mengapa disparitas suasana dan ajaran demikian berbeda (dan kebanyakan guru
agama memang tidak mampu menjelaskannya).
Dalam kondisi demikian,sikap yang akan
diambil oleh siswa akan beraneka ragam misalnya:
(1)Siswa akan
menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan
dengan lingkungannya:
(2)Siswa akan
menjalankan ajaran agama tetapi sacara bercampur baur,ya beragama ya
menjalankan corak kehidupan yang berlawanan dengannya.Misalnya ia melakukan
shalat tetapi juga mau berzina dengan pacarnya.
(3)Siswa akann
mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali,karena ia kalah dengan
lingkungannya.Yang terakhir ini mengikuti pembelajaran peendidikan agama hanya
sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak
kehidupannya sama sekali.
Siswa yang memperoleh pendidikan agama
hanya dari bangku sekolah,rawan terhadap tiga kemungkinan fenomena seperti
telah dijelaskan di atas.Sampai di sini,nasehat agar keluarga harus
mendukung,membantu dan melengkapi pendidikan agama yang diperoleh di
sekolah,akan senantiasa tepat dan perlu diperhatikan.Apalagi jika pendidikan
agama diberikan secara berbeda dari sisi keyakinan antara siswa dan guru.Bagi
sekolah dengan identitas agama sekolah yang berbeda dengan agama yang dianut
siswa,peranan pembelajaran agama oleh keluarga lebih dibutuhkan lagi.Apabila
corak pendidikan agama diberikan secara pluralistic (misalnya pendekatan
moralitas belaka minus ajaran teknis agama-agama),persoalan perbenturan
keyakinan antara siswa dan guru mungkin tidak begitu mengkhawatirkan.Tetapi
bagi guru yang membelajarkan agama lain kepada siswa yang tidak sesuai dengan
akidahnya,problem benturan keyakinan bisa membahayakan siswa yang
bersangkutan:tidak saja pada tataran akademis administratif,tetapi juga sampai
pada masalah yang sifatnya psikologis dan social.Masalah akademis administratif
berkaitan dengan nasib siswa dengan nilai ujian dan kesiswaannya di sekolah
tersebut.Sedang masalah yang sifatnya psikolgis dan sosial karena dakwah agama
di negeri ini dianggap keliru bila diajarkan kepada warga yang sudah memeluk
agama lain.Kalaulah ketentuan ini banyak dilanggar oleh para pendakwah
agama,tetapi caranya tidak boleh terjadi di sekolahan dimana posisi guru
berkuasa,sedangkan siswa adalah pihak yang tidak berdaya dan mudah
dikuasai.Artinya,penyebaran agama dengan mengatasnamakan pendidikan bisa
dituduh pemaksaan terselubung atas siswa yang tidak berdaya untuk memeluk agama
yang semula bukan menjadi keyakinannya.Dan pemicu munculnya ketentuan pasal
pendidikan agama yang harus dibelajarkan oleh guru yang seagama antara lain
adalah soal kekhawatiran masyarakat akan hal ini.
Lepas dari berbagai kelemahan pendidikan
agama di sekolah umum,banyak penyelenggara sekolah umum akhirnya melekatkan
suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama.Kemunculan sistem
“madrasah”,sekolah berlambang agama,misalnya SD Islam,SMP Nurul Hidayah,atau
SMA Islam terpadu,beberapa lengkap dengan
boarding school,pondok pesantren dan semacamnya,merupakan terapi
pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yang biasa terjadi bisa
diatasi.Slogan yang dipampang beragam,ada yang 30%,agama 70%umum,atau
sebaliknya,Ada yang masing-masing 50%atau 100%.Dengan kemunculan kecenderungan
baru pendidikan islam semacam ini,masalah pendidikan agama di sekolah umum
relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.
Tetapi siapapun bisa menerka,dengan
mengandalkan 2 jam pembelajaran,kiranya masalah pendidikan agama mungkin
kondisinya tiddak akan jauh berbeda.Dari sini guru-guru agama harus mulai
mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan.Di antaranya dengan
merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui(1) belajar lagi di
rumah,baiik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji;(2) sekolah madrasah
diniyah sore;dan (3)sekolah negeri sambil menjaadi santri di pondok
pesanttren.akan tetapi,terapi penyempurnaan ini bersifat bebas.Sehingga tidak
semua orang tua menyadari kepentingan
melakukannya.Banyak sekali yang tidak melakukannya,baik karena tidak
menyadari,tidak peduli,ataupun karena tidak mampu dari segi financial.Persoalan
yang hampir sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri adalah yang bersekolah
di yayasan dengan lambing agama lain.Nasib mereka sedikit tertolong oleh pasal
12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas,dimana mereka akan mendapatkan pengajaran
agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarkan oleh guru yang
seagama.
Masalah
Peserta Didik
Status
pembelajaran agama tertentu kepada orang lain yang tidak memeluknya kini
menurut UU Sisdiknas dianggap sebagai pelanggaran.Orang banyak kini menganggap
hal ini bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan misi penyebaran agama secara
terselubung karena dilakukan dengan tutup jubah bernama pendidikan.Selama
ini,fasilitas yang diberikan oleh sekolah,selain mengajarkan pendidikan agama yang
menjadi agama pilihan sekolah,adalah pemberian kesempatan kepada yang tidak
memeluk agama tersebut keluar ruangan.Beberapa yang lain menyediakan surat
kesepakatan bagi calon peserta didik-jauh sebelum kegiatan sekolah
dimulai-untuk bersedia atau tidak bersedia mengikuti pelajaran agama yang
menjadi cirri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.Pratik-praktik ini
dinilai belum menyelesaikan persoalan peendidikan agama yang sebenarnya.
UU Sisdiknas memberikan solusi tengah
bagi peserta didik atau orang tua yang ingin bersekolah di satuan pendidikan
yang menggunakan laambang agama bukan agama yang dianutnya,dengan keputusan
yang ditetapkan oleh sekolah tersebut.Solusinya adalah pemenuhan hak peserta
didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama(pasal 12 ayat (1)huruf a UU Sisdiknas).
Dengan ketentuan penjelasan atas pasal
12 tersebut mengharuskan setiap satuan pendidikan pada semua jallur,jenjang dan
jenis pendidikan menyelenggarakan pendidikan agama,yang pendidiknya bisa
disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh
pemerintah / pemerintah Daerah sesuai kebutuhan.Misalnya pemerintah menyediakan
ruangan besar yang dikhususkan bagi
seluruh agama untuk menampung murid sekolah –sekolah yang tidak mampu
menyelenggarakan pendidikan agama untuk masing-masing agama secara
tersendiri.pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan,pendidikan
agama sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata
kuliah agama.Adapun di pendidikan non-formal,sekurang-kurangnya hanya
berkewajiban memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk secara bebas
menjalankan ibadahnya
Ketentuan pasal 12 juga mengharuskan
setiap satuan pendidkan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama,serta tempat dan kesempatan yang bisa digunakan untuk beribadah,baik
hanya berupa ruangan kosong ataupun rumah ibadah.Satuan pendidikan yang tidak
dapat menyediakannya dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat
atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat.Ini tidak berarti,bahwa
setiap satuan pendidikan wajib menyediakan rumah ibadah di
lingkungannya.Apalagi kalau rumah ibadah tersebut tidak sesuai dengan cirri
khas sekolah yang bersangkutan.Bagi satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan tersebut,maka akan dikenakan
sanksi administratif.
Harapan yang besar yang dialamatkan
kepada model baru pendidikan agama ini merupakan kontruksi rancang bangun
pendidikan agama yang mempunyai tiga tujuan,yaitu:
Tujuan pertama,untuk menjaga penyimpangan
atau kesalahtafsiran norma agama yang bisa terjadi jika diajarkan oleh pendidik
yang tidak seagama.
Tujuan kedua,dengan adanya guru agama
yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar,hal ini dapat menjaga
keerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar
pada satuan pendidikan yang sama.
Tujuan ketiga,pendidikan agama yang
diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam
penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Tujuan-tujuan ini diinginkan untuk
menciptakan pendidikan agama yang seharusnya menumbuhkan sikap
kritis,kreatif,inovatif,dinamis,menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai
ilmu pengetahuan,teknologi,dan seni,dan bukan sebaliknya.Karakter pendidikan
agama ini dipertegas kembali untuk rambu-rambu dan pemurniaan pendidikan agama
itu sendiri,setelah agama tersebut menjadi pihak “tertuduh”memberikan motivasi
sesempit ibadah,tidak mampu membangun moralitas bangsa,tidak anti kekerasan dan
karakter lain yang justru tidak sejalan dengan ajaran asli agama serta tuntutan
perubahan zaman.
Masalah Guru
Apakah guru yang seagama akan menjamin
kepahaman peserta didik terhadap agamanya menjaadi lebih baik,sehingga
sedemikian dituntut?jika saja pertanyaan ini diperuntukan bagi perguruan
tinggi,jawabannya mungkin tidak menjamin.Tetapi apabila diterapkan di tingkat
dasar dan menengah,maka kelompok muslim di polemic media memandangnya sebagai
preseden yang buruk dan tidak menguntungkan.Mahmudin menulis di Republika:Mana
mungkin hukum-hukum puasa Ramadan akan diajarkan oleh seorang Katolik?
Kenyataannya tidak semua sekolah berciri
agama menggunakan pola pengajaran pendidikan agama secara universal,plural,dan
tanpa membedakan agama peserta didik.Tetapi di situlah titik letup polemic
dimulai.Dalam hal ini,umat nasrani bersikukuh menolak pasal agama karena
fenomena ini.Siapa yang suruh masuk ke sekolah Katolik lalu minta mata
pelajaran agama islam?ibarat masuk ke warung padang,kok minta gudeg,atau
memakai logika pendeta BS.Mardiatmadja:Seseorang masuk toko buku sinar
Cemerlang tapi meminta buku Granedia.Apakah sinar Cemerlang wajib menyediakan
buku Gramedia?.Inilah makna penghormatan terhadap cirri dan kekhasan sekolah
swasta yang telah diganggu undang-undang.Dan ini pula,makna hak asasi peserta
didik yang telah menjatuhkan pilihannya masuk di sekolah non-muslim dan
mengikuti apapun kurikulum yang ditetapkan oleeh sekolah itu,namun tidak
dihargai oleh undang-undang.
Pasal 12 ayat(1)huruf a memang
kebaanyakan diperjuangkan oleh umat islam,karena warga muslimlah yang banyak
masuk ke sekolah nasrani.Orang islam tampa menyangsikan ketulusan penyetuju
perjanjian di sekolah Kristiani dan pemilihan sekolah berikut persoalan pilihan
agamanya.Dan lebih jauh,mereka telah curiga ada pembelajaran terselubung
praktik-praktik agama Kristiani kepada murid tanpa membedakan agama apapun
mereka karena posisi sekolah yang dominant dan murid berada dipihak yang
lemah,maka fenomena pengajaran agama kepada bukan pemeluknya sewaktu-waktu
dapat merupakan bentuk pemaksaan tidak kentara yang berarti pelanggaran HAM
Jadi,solusi yang ditawarkan undang-undang
bisa diterjemahkan sebagai alternatif lain untuk menghindari siswa yang keluar
meninggalkan ruangan tanpa fasilitas pendidikan agama,yang menandatangani
perjanjian dengan terpaksa,ataupun yang mengikuti pelajaran agama yang tidak
sesuai dengan agama yang dianutnya.Bahkan,undang-undang ini dapat dipahami
sebagai tidak menghalangi siswa yang dengan sukarela memilih
kurikulumpendidikan agama yang tidak dianutnya.Namun demikian,umat Katolik dan
Kristen tetapmemandang pasal ini diskriminatif karena menghantam kekhasan
sekolah-sekolah (swasta) yang selama ini kukuh dengan identitasnya.
Sebenarnya,pasal ini pernah ditentang
oleh sebagian orang islam,persisnya beberapa utsan dari IAIN dann UIN.Mereka
menilai pasal ini hanyalah kemunduran belaka dalam sejarah pendidikann agama di
Indonesia.Mereka menyebutkan fakta bahwa hingga hari ini di banyak IAIN dan
UINmasih terdapat materi islamologi,atau bahkan substansi ilmu islamm yang
menghadirkan dosen dari luar negeri yang non-muslim.Mereka juga menunjuk
beberapa tokoh cendikiawan muslim seperti Nur Kholis Majid,Amin Rais,dll.yang
sudah tidak diragukan lagi keislamannya itu ternyata adalah hasil didikan
universitasdi barat yang dosen-dosennya banyak bukan muslim.
Tetapi,setelah melalui berbagai
perdebatan panjang,dengan aspek-aspek keuntungan dan kerugiannya secara
menyeluruh,akhirnya diperoleh kesimpulan,bahwa pendidikan lintas agama untuk
kondisi Indonesia yang menbutuhkan pelajaran substansi agama,terutama di
tingkat dasar dan menengah,ternyata memang memiliki bahaya yang lebih besar.kebutuhan
akan pendidikan agama yang utamanya di butuhkan siswa pwndidikan dasar dan
menengah tentang substansi agama dan pengamalannya,tidaklah bisa di penuhi oleh
materi islamologi yang biasa di belajarkan di perguruan Tinggi.
Polemik Perumusan UU Ssisdiknas
Perbedaan
paradigma piker antara yang pro dan kontra pasal 12 telah menguak polarisasi
sudut pandang masing-masing yang selama ini mungkin banyak orang tidak
mengetahui.di antarnya menyangkut jargon pendidikan.yang di pakai oleh Katolik
dan Kristen adalah pendidikan yang”membebaskan dan memerdekakan manusia”(akan
menjadi sebuah agama) termasuk di dalamnya memerdekakan peserta didik dalam
memandang dan memilih keyakinan.sementara paradigma pikir umat islam adalah
kategori siswa telah memeluk sebuah agama
(sudah menjadi).Haknya ini harus di lindungi sesuai amanat UUD 1945.Karena itu
,memberinya pelajaran agama memang keinginan menyelamatkan misi agama atau
mengamankan umat dari keresahan pindah agama.
Munkin karena kebanyakan sekolah katolik
ataupun Kristen memiliki murid yang agamanya paling beragam,sehingga umat dari
kedua agama inilah yang paling getol menolak ketentuan baru mengenai pendidikan
agama.kelompok masyarakat (minoritas) ini menolak pasal ketentuan guru agama
yang seagama dengan ragam alasan,antara lain (a) Undang-Undang Pendidikan tidak
menghargai ke khasan sekolah swasta ;(b) negara telah jauh melakukan campur
tangan atas persoalan teknis agama,dengan ddemikian kini merupakan pelanggaran
terhadap nilai –nilai HAM ;dan (c) berlawanan dengan asas plurralisme karena
telah mengkotak-kotak siswa berdasarkan agama.
Protes atas pasal ketentuan pendidikan
agama ini di sampaikan melalui lobi,seminar,surat,media massa hingga
demonstrasi.gagal dalam berbagai tahap usulan untuk menghapus pasal pendidikan
agama,kecenderungan menolak kehadiran Undang –undang meletus di kantong-kantong
umat kristiani seperti di nusa Tenggara timur dan Manado.kalau di
cermati,protes atas pasal pendidikan agama terkesan berlebihan karena tidak
saja murni di lingkup masalah pendidikan,namun bahkan cenderung berubah bentuk
menjadi masalah politik.salah satu indikatornya adalah,alasan ancaman
disintegrasi bangsa.Indikator lain adalah tuduhan politisasi UU Sisdiknas yang
di lontarkan untuk memojokn kelompok tertentu karena telah di anggap meemasukan
kepentingan tertentu pula melalui pasal penddidikan agama.selain
berlebihan,polemic ini juga menyertakan prasangka serta berbagai
kecurigaan.Mialnya .Umat Muslim di tuduh menghidupkan kembali”Piagam
Jakarta”,sedangkan umat kristiani di tuduh selama ini telah melakukan kegiatan
kristeenisassi diam-diam melalui penidikan.jadilah polemic ini juga berbau sectarian,karena ujung-ujungnya umat
islam menjadi pendukung Undang-undang di satu pihak,sedangkan umat kristiani
menjadi penentangnya di pihak lain.
Bagaimana dengan umat lain?menjelang
pengesahan UU,Umat Budha,hindu,tidak mempermasalahkan pasal tentang pendidikan
agama tersebut.bahkan penganut konghucu dan sebagian yang tak terdengar dari
kaum Nasrani sesungguhnya meenjadi pendukung.kondisi ini secara mengejutkan
menambah kecurigaan kaum muslim tentang alibi “udang di balik batu”kaum
Nasrani,kalaulah ketentuan pasal agama dianggap menguntungkan kelompok
tertentu,mengapa agama lain yang dirugikan tidak menolaknya?Dan apa sebenarnya
kerugian mendidik agama siswa sesuai agamanya dengan guru yang seagama?
Praktik pengajaran agama oleh guru
yang seagama sebenarnya bukan perkara yang sama sekali baru.Di beberapa
sekolah-termasuk yang bercirikan Muhammadiyah ataupun Kristiani –sudah
menciptakan suasana semacam itu sejak lama.Itu karena undang-undang No.2 tahun
1989 tentang sistem pendidikan Nasionall sebenarnya sudah mengaturnya dalam
penjelasan pasal 28 jika kelahiran undang-undang yang baru ini tiba-tiba memicu
kontroversi besar,saya kira itu karena kini dieksplisitkan dalam butir
pasal.Padahal,toh dilihat dari segi implementasinya sebenarnya pasal tersebut
masih memiliki kelemahan.Misalnya ketentuan materi dan guru yang sesuai agama
peserta didik bukan berupa kewajiban melainkan hak.Artinya,status hukumnya
dapat dipersoalkan pelanggaran yang terjadi berupa proses delik aduan.
Mengikuti polemic yang berkembang
mengenai pasal pendidikan Agama meluaskan wawasan kita tentang lorong-lorong
kepentingan banyak kelompok pemerhati keberlangsungan pendidikan agama dalam
sistem pendidikan Nasional.Mungkin inilah citra lain mengenaai Indonesia yang
dikenal religius itu.Akan tetapi,kita benar-benar sejenak terlena mengenai
untuk apa pendidikan agama itu harus ada?Kemana arahnya dan untuk apa tujuannya
dalam keseluruhan tata pendidikan di negeri ini?kita lupa bahwa kita mempunyai
agenda yang lebih mendesak untuk ditangani,yaitu memperbaiki moral dan mutu
pendidikan.Ironisnya,polemic mengenai agama sampai nyaris menenggelamkan isu-isu
penting lainnya dalam UU Sisdiknas.
Menyoal Tujuan Pendidikan Agama
Pendidikan agama di Indonesia
ibarat “anak jadah”bagi pembangunan.Ayah-ibu yang berzina,tetapi rasa malu
ditimpakan ke anaknya.Kita semua sependapat bahwa kegagalan pembangunan
nasional-utamanya pembangunan moral-disebabkan oleh banyak factor,misalnya
factor ekonomi,hukum atau politik.Namun pendidikan agama sering dijadikan
kembang hitam.Dituduh tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai ujung tombak
pendidikann moral bangsa.Di artas kertas-kertas hukum yang mengikat Bangsa
Indonesia dalam menjalankan sistem pendidikan Nasional,sebenarnya tidak ada
persoalan dengan dilemma antara ilmu pengetahuan,teknologi dan moralitas/
akhlak mulia.Ketiganya selalu dicanangkan secara eksplisit ataupun implisit
menjadi spirit kesatuan substansi pendidikan Nasional.Namun pemerintah dalam
berbagai kebijakan pendidikan sering dinilai salah penekanan pendidikan hanya
ppada ranah ipteknya saja,alias menelantarkan sisi akhlak dan budi pekerti bangsa.Kemanakah
pendidikan nasional hendak dibawa?Dalam islam,tujuan thalabul ilmi adalah menuju
terbentuknya akhlak individu yang karimah(mulia).Seorang penyandang ilmu yang
banyak,namun tidak berbuah amal kebaikannya maka ilmu itu menjadi tidak ada artinya.
Mencermati fakta yang ada,wujud
pendidikan agama di sekolah umum saat ini cenderung dipahami hanya sebagai
“pengetahuan”layaknya mata pelajaran lain.Dan kritik atas pemahaman semacam ini
sering kita dengar.Demikian pula dengan tujuan pendidikan agama yang di tingkat
praktis cenderung menegakan ibadah ketimbang moralitas pendidikan
agama,benar-benar menuai kritik tajam.Kita sering mendengarr gerutu mengenai
banyak orang taat beragama tetapi moralitasnya amburadul.Sebaliknya,banyak
orang bermoral meski keberagamaannya dangkal-dangkal saja.Seberapa perlu
eksistensi pendidikan agama yang ada dipertahankan?Apakah pendidikan agama di
situ bersifat religiusitas ataupun moralitas.Apa pula urgensinya sehingga guru
agama harus seagama?
Realita kehidupan di Indonesia memang
membutuhkan situasi religius sekaligis juga moralis.Sayangnya,fenomena
religiusitas muncul lebih menonjol ketimbang moralitas.Inilah mengapa sebagian
orang lalu berpandangan pendidikan moral lebih tepat untuk indanesia.Di tengah hiruk-pikuk
perbincangan mengenai agama atau moral,pendidikan agama semakin memiliki
kedudukan yang kuat.Utamanya karena UU Sisdiknas mengukuhkannya,bahkan
diperlengkapi dengan persoalan guru agama yang seagama.Artinya,pendidikan moral
hampir dipastikan surut untuk dipromosikan menggantikan pendidikan agama.Dan
persoalannya bergeser kepada bagaimanakah memformulasikan pendidikan agama itu
ke dalam pembangunan moral bangsa sebagaimana diharapkan.
Pendidikan
Agama Versus Sekularisasi
Pendidikan agama mata
pelajaran sering dinilai kontra produktif karena telah mencipta kondisi
`sekularisasi`di otak dan pikiran peserta didik.Anak didik dengan pendidikan
agama yang ada,cenderung mendefinisikan agama sebagai mata pelajaran agama
dengan pengertian yang sempit.Bahkan moralitas dan perilaku sehari-hari,seperti
tidak terkait langsung dengan apa yang seharusnya disadari sebagai agama.Itu
semua,karena pendidikan agama kalaupun tidak berfungsi sebagai
pengetahuan,umumnya telah direduksi menjadi ritus-ritus formalistic(dan
karenanya terpisah dari kehidupan nyata).Bagi yang tidak setuju terhadap adanya
pendidikan agama dalam bentuk mata pelajaran tersendiri,mereka menghendaki
dihapuskannya mata pelajaran agama karena sifatnya yang dilematis.
Sebagai solusi,agama selanjutnya
dianjurkan bisa menjadi roh pada setiap kegiatan ajar –mengajar di
sekolah.Artinya,pendidikan agama diajarkan terintegrasi ke dalam seluruh mata
pelajaran lain.Ini sekaligus untuk menghindari pandangan sekularis.Sebut saja
ini alternatif kedua bentuk pendidikan agama.Kondisi pendidikan agama dalam
bentuk terintegrasi ini adalah kondisi dimana nama pendidikan agama
“dihapus”,namun secara roh”tidak hilang”
Yang perlu diingat,mengajarkan
pendidikan agama secara terintegrasi ternyata bukanlah perkara mudah.Bahkann
mungkin ada yang memandangnya mustahil.Selain sumber daya guru maupun situasi
di Indonesia masih memerlukan waktu dan upaya ekstra keras untuk menuju ke
situ,penghapusan agama dengan dalih agama telah dibelajarkan secara terintegrasi
justru bisa berakibat hilangnya pendidikan agama itu dalam makna yang
sesungguhnya.Ini lebih mengkhawatirkan akan terjadi di sekolah-sekolah negeri
ataupun swasta yang tidak berciri agama tertentu.
Jika menjadi mata pelajaran begitu
dilematis,dan dalam bentuk terintegrasi jugademikian sulit,sebagian ahli
menawarkan alternatif ke tiga yang ke dengaran betul-betul gila.Yakni
menghapuskan sama sekali pendidikan agama.Alasannya,pendidikan agama seharusnya
menjadi urusan pribadi atau diajarkan oleh keluarga,karena sifatnya yang
privat,dan sebagai gantinya adalah “pendidikan moral”yang merupakan persoalan
public.Pendidikan moral dengan pola ini banyak dipraktekkan di Negara-negara
sekuler.Sebenarnya,untuk Negara semaca Indonesia,pola semacam ini sering hanya
mengundang protes keras di
masyarakat.Mereka khawatir akan nasib agama di kemudian hari.Negara-negara
muslim di timur tengah pada umumnya memang tidak menghapuskan pendidikan agama.
Ada alternatif ke empat berikut ini yang
mirip dengan alternatif ke tiga.kemiripannya terletak pada penitikberatan
kepada norma-moral,termasuk moralitas beragama dan bukan ajaran agama itu
sendiri.Namun masih bisa menggunakan istilah pendidikan agama.Para ahli sudah
sering mengenukakan hal ini.Diantaranya seperti pernyataan tokoh NU,Masdar F
Mas`udi:Tanggung jawab mengajjarkan agama ada pada umat masing-masing.Bukan
pada Negara.Bila Negara mengatur pendidikan,yang dilakukan adalah mengatur
moralitas,etika,bukan mengajarkan doktrin.Pendidikan agama memang harus diberi tempat,dan
itu adalah tanggung jawab umat maasing-masing.Senada dengan ini,adalah
pernyataan pendeta Winata Sairin bahwa pendidikan agama yang diatur oleh Negara
adalah yang bersifat umum.Adapun yang bersifat teknis,Negara tidak bisa campur
tangan terlalu jauh.
Akibat lain sistem pendidikan di
Indonesia yang mewajibkan pendidikan agama adalah terjadunya fenomena keagamaan
vis-a`-vis umum.sekolah vis-à-vis
madrasah.Diperkuat pula dengan berdirinya departemen agama yang mengurusi
segala persoalan agama.Tidak jarang tuntutan penghapusan pendidikan agama di
sekolah juga dilanjutkann dengan pandangan pembubaran departeman agama dengan
alasan menghindarkan Indonesia dari sekularisasi sebagaimana telah
disinggung.Di tingkat wacana,pandangan pembubaran sering terlontar dan sah-sah
belaka,namun di tingkat implementasi selalu menghadapi kesulitan kalau bukan
mustahil.
Eksistensi pendidikan agama akhirnya
lolos dari gempuran kelompok yang tidak menyetujui.Hal itu setidaknya
dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut(1)terpenuhinya kebutuhan pendidikan
agama bagi masyarakat yang di keluarga masing-masing belum tentu
memperolehnya;(2)identifikasi Indonesia sebagai bukan Negara seku;er;dan
(3)untuk alasan pembangunan moral.
Mencermati tiga hal di atas,latar belakang
pembangunan moral hanya merupakan salah satu alasan saja mengapa pendidikan
agama dituntut ada.Karena agama bukan semata persoalan moral,namun juga ritual
/ ibadah,keyakinan,dan lain semacamnya.Maka agama sangat berbeda dengan
moral,bahkan moral di anggap sebagai bagian dari agama.Inilah mengapapermintaan
terhadap penghapusan pendidikan agama dan digantikan pendidikan moral mungkin
tidak (akaan)pernah berhasil.Diajarkan keduanyapun masih dikhawatirkan akan
terjadi dikotomi agama-moral,dan karenanya juga ditolak.Sebab lain misalnya
karena dengan pendidikan moral sekalipun,belum tentu moralitas bangsa ini
dijamin akan membaik.Terkecuali jikalau paradigma agama-moral terbalik.Yakni
adanya kesepakatan bahwa moral menjadi permasalahan global,sedangkan agama
menjadi hanya bagian dari padanya,atau bahkan menjadi persoalan pribadi serta
bukan sejenis ilmu pengetahuan yang wajib diajarkan di bangku
pendidikan.Praktik ini tidak selalu menjadi identitas Negara-negara
sekuler,bahkan di Negara non-sekuler juga banyak ditemukan.Titik positif sistem
semacam ini adalah terbinanya kehidupan keberagamaan yang lebih mengutamakan
pluralitas,moral kemanusiaan,toleransi,bahkan perbandingan agama untuk mengikis
ketidakmengertian kepada penganut agama lain.Namun negatifnya,pendalaman
terhadap agamanya sendiri,termasuk ihwal pendidikan ritual(cara ibadah
misalnya)menjadi dikesampingkan karena diserahkan kepada pribadi masing-masing.
Titik negatif inilah yang ditolak
masyarakat Indonesia.Artinya,pendidikan agama dipandang lebih cocok untuk
Indonesia karenaa mengajarkan keberagamaan secara lebih menyeluruh(mencakup
ritual dan moral).Ini membberi pengertian bahwa pendidikan agama dianggap
memiliki kekhasan yang tidak terdapat di pendidikan moral.Dan ini sekaligus
sebagai identitas Indonesia yang merupakan Negara bukan sekuler.Perkara
moralitas bangsa Indonesia kemudian merosot,muara persoalannya bukan kepada
perlu tidaknya pendidikan agama,akan
tetapi subtansi apa dan bagaimana cara pengajaran agama itu dilaksanakan.
UU Sisdiknas
dan Model Pendidikan Agama
Mengapa perbincangan mengenai
moral selalu membahana manakala seseorang berbicara tentang agama?padahal
sejujurnya,membebankan masalah moral hanya kepada pendidikan agama merupakaan
pandangan yang kurang adil.Sebut saja factor lain,misalnya masalah krisis
ekonomi.Faktor ini juga sangat berpengaruh dalam merusak moral bangsa.Bukankah
kemiskinan dan kelaparan telah begitu nyata membutakan hati dan nurani banyak
orang untuk berbuat tidak jujur serta berperilaku jahat?karenanya,tidak
bersangkut terlalu jauh sebenarnya mengenai pendidikan agama dengan masalah
kerusakan moral ini.Kalaupun terkait,yang dapat dilakukan oleh pendidikan agama
sebenarnya hanyalah”turut serta”dalam memoerbaiki moralitas bangsa melalui
proses ajar-mengajar.Dan itu harus didukung oleh sarana ataupun elemen bangsa
lain yang bahu-membahu memperbaiki moral.Kita semua merasakan betapa agenda
pendidikan agama serta kaitannya dengan
moral terpisah dan bertingkat.Tingkat pertama:perlukah pendidikan agama?Tingkat
kedua:mengapa agama gagal membangun moral?Dan pada tingkat berikutnya:formula
pendidikan agama macam apa yang cocok untuk kehidupan di Indonesia?Sesuatu yang
baru dan mengundang polemic berskala luas berkenaan dengan “hak peserta didik
untuk memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya dan diajarkan
oleh guru yang seagama”.Pasal ini menggugah perasaan dan pikiran banyak pihak
untuk meraba wujud baru pendidikan agama di masa datang.Poin terpenting dalam
ketentuan pendidikan agama tersebut adalah:(1)agama diajarkan sesuai dengan
keyakinan yang dianut peserta didik;dan (2)guru agama akan sama agamanya
dengan peserta didik.
Kedua poin ini mengisyaratkan formula
baru pendidikan agama yang sekurangnya memiliki dampak-dampak
ini:pertama,pendidikan agama kelak bukan lagi sebagai pengetahuan
kognitif,tetapi bernuansa moral yang bersifat hidup serta praktis.Selama ini
pendidikan agama diajarkan seperti pengetahuan yang bersifat kognitif sehingga
sulit mempengaruhi perilaku.Karena sebagai pengetahuan sehingga bisa diajarkan
oleh siapa saja,dan tidak selalu harus sesuai dengan agama yang dianutnya.Di
tingkat perguruan tinggi,praktek pendidikan agama semacam ini sudah lama
berjalan dan tidak pernah dipersoalkan.Tetapi ketika hal ini dibahas untuk tingkat
dasar dan menengah,lalu aturannya dituangkan di undang-undang,masyarakat ramai
menjadikannya polemic pro dan kontra;kedua,pengajaran pendidikan agama oleh
guru yang seagama akan lebih menjamin kebenaran ajaran agama,hal ini terutama
untuk agama ranah ibadah dan akidah;dan ketiga,untuk mempersempit peluang
pengajaran agama oleh guru yang tidak membidanginya,termasuk didalamnya guru
agama yang tidak seagama yang akhirnya hanya menimbulkan kecurigaan dakwah
terselubung dan mengganggu kerukunan umat beragama.
Merubah paradigma praktik pendidikan
agama dari yang semula memiliki karateristik pengetahuan menjadi praktis,memang
dituntut oleh banyak pihak.Dan selama ini,karena bersifat kognitif,pendidikann
agama nenjadi terpuruk sedemikian rupa,tetapi meribahnya begitu saja menjadi
pengetahuan yang diamalkan dan dibiasakan tentu bukan perkara mudah.Lebih lagi
tidak semua peserta didik diajarkan oleh guru yang sama agamanya,misalnya
karena seorang peserta didik adalah muslim sedangkan ia bersekolah di sekolah
bercirikan Katolik dan Kristen.
Karakter pendidikan agama sebagaimana
dalam ketentuan UU Sisdiknas diharapkan dapat menjadikan agama yang dipeluk
peserta didik sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan
pribadi,berkeluarga,bermasyarakat,berbangsa,dan bernegara.Dengan demikian maka
secara makro,agama yang dipelajarinya dapat mewujudkan
keharmonisan,kerukunan,dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama dan
terhadap pemeluk agama lain
Idealnya,semua warga Negara Indonesia
sejak usia dini dipersiapkan pembangunan karakter dasarnya dengan pendidikan
agama semacam ini.Negara kemudian mewajibkan setiap satuan pendidikan pada
semua jalur,jenjang,dan jenis pendidikan untukmenyelenggarakan pendidikan
agama.Dalam hal ini,Negara perlu menentukan rambu-rambu baik berupa kerangka
dasar dan struktur kurikulum yang bisa diacu oleh satuan pendidikan dalam
pengembangan kurikulumnya,maupun berupa edaran terhadap pengakuan Negara atas
kurikulum pendidikann yang digunakan secara mandiri oleh masyarakat.Hal ini
penting untuk menghindari pengajaran agama yang cenderung “liar”
Pada mulanya,banyak orang
terkaget-kaget dengan ketentuan baru UU Sisdiknas karena dianggap akan
memberangus sekolah-sekolah berciri khas
agama di negeri ini sudah tidak dihormati lagi oleh Negara,Mereka beranggapan
bahwa setiap satuan pendidikan yang memiliki cirri khas agama apapun akan
dipaksa membangun rumah ibadah(seperti masjid,gereja,vihara,dll)yang
jelas-jelas tidak sesuai dilingkungan mereka.Bayangkan,kalau misalnya sekolah
Katolik harus menyediakan masjid.Atau universitas islam harus menyediakan
gereja.Ketersinggungan,kecurigaan,dan keternodaan beberapa sekolah umumberciri
khas agama ini seperti ini barangkali yang sempat menyulut amarah menolak
kehadiran UU Sisdiknas waktu itu pada awal mulanya.Persoalan lain yang
muncul,karena kebutuhan agamasetiap peserta didik diharuskan
dipenuhi,kategorisasi”agama”tidak mustahil juga akan muncul.Apakah kalau ada
siswa Konghucu,atau orang beragama Tao menuntut hak yang sama,juga harus
dikabulkan?
Secara logika,harusnya dikabulkan,karena
pada dasarnya tak ada pihak yang bisa membatasi soal keyakinan,sebagaimana
telah disinggung di depan.Jika pelayanan terbatas pada agama tertentu dan
menafikan pelayanan kepada agama lainnya tanpa alasan yang jelas,maknanya
Negara sesungguhnya telah melakukan tindakan diskrimintaif atas para pemeluk
agama.
Sesungguhnya pasal 12 ayat(1)a tentang hak
peserta didik memperoleh agama yang sesuai dengan peserta didik dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama,sudah secara otomatis menjamin hak semua agama.Namun
kalau kita angkat kasus umat Konghucu,kejadiannya menjadi sedikit berbeda.Duduk
perkaranya adalah sebagai berikut:
a.Konghucu
dikategorikan sebagai bukan agama.
b.Konsekwensinya,karena
bukan dianggap sebagai agama,maka konghucu tidak akan mendapatkan pelayanan
sebagaimana ketentuan pasal 12 ayat (1)a.Ini berarti lebih hidup di Indonesia
tanpa pengakuan berakhir sudah.Melalui pembahasan yang a lot di Depag,konghucu
akhirnya diakui sebagai agama
.Belajar dari
kasus konghucu ini setidaknya hal-hal yang perlu dipikirkan oleh semua pihakL1)redefinisi
agama dalam pasal 12 ayat(1))a;dan(2)perlunya antisipasi atas kasus konghucu
barangkali merupakan awal gunung es yang akibatnya akan bermuara pada masalah
yang lebih besar.Artinya begitu konghucu diberikan layanan yang memadai
layaknya agama lain yang besar,maka kemungkinan agama-agama yang baru tidak
mustahil akan menuntut hal serupa.Persoalan baru bahkan muncul,bila paham-paham
yang kita sebut sebagai sekte atau aliran tidak menutup kemungkinan akan bisa
mengaku sebagai agama (meskipun hanya karena tujuan memperoleh pelayanan dan
bantuan dari pemerintah).
Sebenarnya,pemahaman atas pasal 12 UU
Sisdiknas ayat(1)a memang tidak seharusnya dibatasi pada 5 agama.Bahkan bisa
pula menyangkut tuntutan penganut mazhab,sekte,aliran atau apapun friksi yang
ada dalam setiap agama,apabila mereka memintanya.Mengapa demikian?karena secara
logika semua keyakinan (yang bisa saja orang mengklaim itu agama)harusnya mendapat
perlakuan yang sama.Ini makna hak kebebasan tiap orang untuk memilih
keyakinan.Di tingkat lapangan,kenyataan mengukuhkan fenomena ini:orang syiah
tidak akan mau diajar oleh orang sunni jika guru syiah bersedia.
Kasus yang sama terjadi pada sekte
Yehowah dalam agama Kristen,mereka umumnya menuntut guru bersekte yehowa karena
tidak mau diajar oleh orang Kristen.Bahkan orang muhammadiyah juga tidak
mustahil menuntut guru dari muhammadiyah juga,sebab banyak orang muhammadiyah
tidak mau diajar islam dengan cara NU,dan vice
versa
Social Media