Seputar Informasi

Sumber informasi Pendidikan dan informatika

Agama dan Pendidikan Nasional


Oleh : Jamridafrizal
       Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini.Termasuk di dalamnya pendidikan para penganut agama islam,Kristen dan Katolik misalnya,akhirnya memaksakan integrasi agama pendidikan hingga kepada simbol keagamaan lembaga-lambaga pendidikan yang mereka kelola.Awal sejarah pendidikan di negeri ini pun sebenarnya sudah di awali dengan fenomena itu.jauh sebelum Indonesia merdeka,mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan.
       Agama akhirnya diakomodasi oleh kontitusi Indonesia sebagai bagian tak terpiaskan dari sektor pendidikan.konsekuensinya,semua lembaga pendidikan,termasuk sekolah-sekolah yang di kelola oleh Negara pun yang sering kali lebih di tuntut untuk menjadi netral tidak bisa di lepaskan dari kelaziman ini.
        Tak haya itu pemenuhan kebutuhan dasar integrasi agama pendidikan ini akhirnya di sebut-sebut turut melatar belakangi kelahiran manajemen pendidikan Indonesia ke dalam dua pilar pelayanan peendidikan,yakni pelayanan yang di lakukan oleh departemen pendidikan nasional dan Departemen Agama.Meski manajemen pelayanan pendidikan ini secara umum menjadi tanggungjawab Mentri Pendidikan,sebagaimana di tuangkan dalam UU Sisdiknas,namun dualisme pelaksanaannya yang relatif terpisah sering menimbulkan persoalan.
        Sebenarnya,tidaklah berlebihan bagi Negara yang memiliki penduduk beragama memberikan perhatian kepada agama,sama pentingnya dengan perhatian yang di berikan untuk pendidikan.Di banyak Negara,tokoh agama sangat di pandang penting karena peran mereka yang sidnifikan dalam keikut sertaannya mempengaruhi arah dan kebijakan Negara.Ketokohan pemuka agama di Cina,misalnya,di sejajarkan dengan tokoh pendidikaan.Di negeri komunis itu gaji tertinggi di berikan kepada Biksu dan Guru,yakni setara dengan direktur kelas menengah di sana.Di Saudi Arabia dan Iran,perhatian kepada Mullah dan Ayatullah (ulama)bahkan melebihi perhatian Negara pada sektor apapun,demikian pula di mesir dan Turki,walau gaji imam dan khotib tidak besar,akan tetapi perhatian Negara kepada agama tampak hingga pada persoalan gaji-gaji para ulama.
      Di Indonesia ini sebagai mana jamak di ketahui nasib pemuka agama mungkin memang tidak sama dengan kondisi di Negara-negara yang telah kita sebutkan.Hirarki penggajian Pendeta dan Pastur di atur sendiri oleh internal organisasi agama yang bersangkutan.Banyak para Kyai dan Ustad swasta (selain guru agama negeri).mengandalkan penerimaan infak dan balas budi masyarakat atas pengajaran agama yang di berikannya hampir secar murni.

Sistem Pendidikan Nasional

      Pengelolaan pendidikan yang baik sebenarnya adalah pendidkan yang dapat memanfaatkan potensi Budaya yabg tumbuh dan berkembang di Indonesia yang di huni oleh bermacam suku,agama,dan adapt istiadat yang sangat berbeda satu sama lain,maka seberagam itu pula pola pendidikan yang mereka kembangkan.Atas dasar ini konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengemanatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan dengan melestarikan keaneka ragaman penyelenggaraan pendidikan di masyarakat,akan tetapi berada dalam satu payung pengelolaan,bernama “Sistem pendidikan Nasional”.
    Undang –undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 31 ayat (3)mengemanatkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan ke imanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa yang diatur dengan undang-undang”.Tangungjawab pengelolaan satu sistem pendidikan ini menjadi tugas Mentri Pendidikan.
      Di dalam ssatu sistem itu,di harapkan keragaman penyelenggaraan pendidikan bisa melahirkan ke kuatan pendidikan yang dahsyat.
     Keragaman penyelenggaraan penndidikan di Indonesia dapat di telusuri dalam dua kategori:pertama,keragaman yang di lakukan oleh masyarakat dengan tingkat keratifitas yang rendah.Masyarakat semacam ini sebenarnya cenderung memilih keseragaman ena di anggap memudahkan.keseragaman tersebut antara lain dalam bentuk nomenklatur satuan pendidikan,seragam sekolah,hari masuk dan libur sekolah,sistem penilaian,dsb.Misalnya masalah masalah keseragaman kurikulum.walau UU sudah menyuruh agar masing-masing sekolah menyusun sendiri kurikulumnya,banyak para guru dan sekolah angkat tangan melakukannya.Mereka lebih suka menggunakan kurikulum yang di keluarkan oleh pemerintah.Bahkan pada tingkat silabuspun (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),mereka lebih suka menggunakan paket yang sudah jadi pemerintah.
     Kategori kedua terdapat pada masyarakat yang memiliki tingkat kreatif cukup tinggi (yang ini minoritas).Mereka cenderung menyebut pemerintah sampai saat ini terlalu banyak mengatur pendidikan hingga hal-hal yang tidak seharusnya diatur.Terutama sekolah-sekolah swasta,banyak sekali sekolah yang jika tingkat kemandiriannya sudah cukup tinggi,menginginkan pemerintah cukup mengukur hasil pendidikannya saja.Proses penyelenggaraan pendidikannya tidak usah diatur.Mau menggunakan kurikulum atau sistem penilaian apapun silahkan saja.Mau pakai nama SD,MI,Salafiah,Vidia laya,terserah saja.Apalagi hanya masalah lama waktu belajar,kalender pendidikan,janjang pendidikan,seragam,dan hal lain yang sebenarnya tidak perlu diatur.Yang terpenting adalah mutu keluaran setiap lembaga pendidikan bisa di pertanggungjawabkan,dalam arti kalau,dites memenuhi kompetensi sesuai jenjangnya.
     Dalam menanggapi kecenderungan masyarakat yang sangat kreatif ini,pemerintah sering mengaku bersikap realistis.Pemerintah memandang mudarat pelepasan begitu saja proses pendidikan di masyarakat,dengan kondisi majemuk seperti sekarang,bisa justru bisa membahayakan hasil (out come)pendidikan itu sendiri.Dikontrol secara seragam saja kenyataannya hasil pendidikan kita jauh dari setandar,apatah lagi di lepaskan.Atas dasar ini maka penyeragaman,terutama pada hal-hal tertentu harus di jalankan.Dengan paradigma ini lalu pemerintah mengatur kerangka dasar kurikulum,melakukan ujian Nasional,menetapkan kalender,jam pembelajaran dll.
     UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengistilahan penyeragaman terhadap hal tertentu tersebut sebagai setandarisasi Nasional pendidikan (SNP).Tujuannya untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing.SNP dapat di gunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang  berkembang di masyarakat “secara liar”dengan kebijakan Negara melalui deal-deal yang bisa ddisepakati.SNP dengan demikian di perlukan agar Negara dapat melestarikan keragaman yang menjamin satu lembaga pendidikan dengan lainnya agar saling bersinergi dan saling melengkapi.
      Pendidikan yang ideal seharusnya di bina hingga kualitasnya jauh melebihi standar minimal yang di tetapkan dalam SNP.karennya melalui SNP ini,Negara perlu memberi ruang bagi elastisitas pendidikan yang berkembang di masyarakat miaslnya melalui sebuah prinsip Multy entry dan multi exsit (terbuka dan multi makna).Prinsip ini memungkinkan lulusan seluruh pendidikan yang terstandar-dengan keragaman-akan memiliki akses yang sama bagi peserta didik untuk dapat pindah,melanjutkan,atau memasuki suatu istansi pekerjaan publik.
     Pada jalur pendidikan formal standarisasi pendidikan di jalankan dengan 3 proses pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan (a) evaluasi (b) akreditsi dan (c) sertifikasi.
     Pada jalur pendidikan non formal dan in formal juga di lakukan standarisasi pendidikan dengan orientasi mutu yang menjamin pengukuran kompetensi masing –masing bidang dalam memenuhi kebutuhan.Di samping itu ,pendidikan jenis ini juga bisa di setarakan dengan kualitas pendidikan formal,jika di perlukan,setelah melalui uji kesetaaraan.
    Standar nasional Pendidikan (SNP) yang di amanatkan UU Sisdiknas nomor 20/2003 bahkan akhirnya melahirkan sebuah badan baru yang relative independent bernama BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).Aturan standarisasi pendidikan kemuddian di tuangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004.Dengan aturan baru ini ,semua jenis pendidikan yang selama ini tidak di akui persamaannya dengan pendidikan umum formal,dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.Satu persatu pendidikan tradisionalpun kini mulai gembira karena akan memiliki hak yang tidak jauh beda dari sekolah yang biasa dianakemaskan Negara.
    Pengalaman pendidikan Islam berbasis masyarakat-menunjukan bahwa proses akulturasi budaya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional ternyata tidak terjadi dalam satu tahap secara mudah.Akan tetapi berjalan secara bertahap dan sering kali tidak mudah.
   Sejarah pendidikan Islam di Indonesia mula-mula hanyalah pendidikan keagamaan untuk penyebarann agama.Ketika zaman Penjajahan datang,terjadi  politik pendidikan diskriminatif karena pemerintah penjajahan memandang rendah pendidikan pribumi.Konisi itu berubah setelah umat Islam mengembangkan sekolah umum.Termasuk ketika dalam tradisi pendidikan Islam tumbuh tradisi Madrasah yang akhirnya berubah menjadi sekolah umum berciri agamma islam.dari catatan proses akulturasi pendidikan Islam,dengan manajemen pendidikan nasional,terdapat beberapa catatan yang perlu digaris bawahi:       
·         Bahwa dengan satu sistem pendidikan,sebenarnya isu dualisme “dua atap”pengelolaan pendidikan tidaklah ada,dan sebenarnya merupakan ungkapan yang tidak benar.Yang dimaksud denga dualisme pengelolaan pendidikan biasnya adalah dualisme antara Departemen Pendidikan Nasional yang mengatur sekolah dan perguruan tinggi umum,dengan Departemen Agama yang mengelola madrasah dan pendidikan keagamaan.Ini tidak beenar karena masih banyak departemen lain selain departemen agama yang juga menyelenggarakan pendidikan,yaitu yang disebut dengan pendidikan kedinasan.Pendidikan kedinasan diselenggarakan oleh departemen (selain Departemen Pendidikan Nasional}atau  Lembaga Pendidikan Non Departemen untuk mendidik pegawai atau calon pegawai sesuai kebutuhan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.Isu dualisme mencuat karena jumlah sekolah dan madrasah merupakan yang terbanyak di Indonesia.
·         Karena dalan satu sistem pendidikan,pemerintah,mempunyai daya untuk mengawasi dan membina pendidikan yang diselenggarakan oleh siapapun di negeri ini,maka pemerintah bertanggungjawab untuk membinanya agar sesuai tijuan pendidikan nasional.Dalam pengertian ini,sebenarnya semua hal yang dapat dikategorikan sebagai mengandung unsure pendidikan,maka Mendiknas mempunyai hak dan kewenaangan mengontrol,membina,mengawasi,dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada hal menyeleweng dari tujuan pendidikan nasional.Termasuk tayangan TV atau tabloid yang mengandung unsur pendidikan.Atas dasar ini maka UU Sisdiknas yang mengelurkan  regulasi terhadap pendidikan keagamaan menemukan alasannya.

Organisasi Sosial Keagamaan dan Manajemen Pendidikan Nasional   

Selama ini,setiap kali kursi Mentri pendidikan akan mengalami pergantian,beredarlah kasak-kusuk seperti ini:kursi Mentri pendidikan biasanya diproyeksikan untuk diisi,kalau tidak ada orang nasionalis,ya orang dari ormas Muhammadiyah.Apa makna di balik kasak-kusuk yang kita dengar ini?Mengapa bukan diperuntukan bagi orang NU yang mayoritas,atau orang Kristiani yang terkenal memiliki banyak lembaga pendidikan maju?
Semua kekuatan orpol maupun ormas di Indonesia wajar saja mengincar kursi nomor satu,dua,tiga di Depdiknas.Selain karena pendidikan punya nilai strategi luar biasa dalam menciptakan geneerasi bangsa,perebutan kursi di sana juga merupakan pembangunan imej bagi suatu perwakilan komunitas,serta konon kabarnya,bermanfaat juga bagi perkembangan internal lembaga pendidikan yang punya emosi kedekatan dengan kekuasaan.
Secara kebetulan kita bisa menyaksikan Mentri Pendidikan secara berturut-turut dijabat oleh orang-orang penting di pengurusan Muhamadiyah dan Partai Amanat Nasional(PAN).Mulai dari Yahya Muhaimin,Malik Fadjar,dan kini Bambang Sudibyo.Jika direnungkan,Muhammadiyah dekat dengan departemen pendidikan memang ada betulnya,atas alasan berikut ini (1)jabatan mentri pendisikan akan selalu diperebutkan oleh mayoritas orang muslim,mengingat urgensi jabatan ini selalu bersentuhan langsung dengan hajat rakyat banyak. (2) di upayakan harus dari kalangan Muhammadiyah,karena ormas islam paling menonjol bidang pendidikannya adalah Muhammadiyah .
Jika perebutan kursi Departemen pendidikan di proyeksikan untukkelompok masyarakat yang terlatih mengelola pendidikan dengan baik,maka Muhammadiyah agaknya pantas berada ddi peringkat teeratas,kelompok berikutna mungkin Katolik/Kristen,mungkin NU.
Fenomena yang sama juga melanda Departemen lain,misalnya Departemen Agama yang dekat dengan kegiatan keagamaan maka auranya pun di tangkap masyarakat lebih dekat ke NU.Mentri agama pertama adalah K.H.Wahid Hasyim.Belakangan ini kita melihat warga NU berturut-turut menjadi Mentri Agama.yaitu Talhah Hasan,Sayyid Agil Al Munawwar,dan kemudian Maftuh Basyuni.
Meski setiap kali menjelang penyusunan cabinet,NU terdengar mengincar  jabatan Mentri Pendidikan,tetapi kenyatannya harapan harapan itu  belum terkabul.jika kita bisa melongokke dalam lagi,bahkan pejabat setingkat di bawah menteri atau ke bawahnya lagi,juga banyak di borong oleh orang-orang yang “sebendera”dengan sang Mentri.Kalaulah tidak sebendera,maka miimal orang naionalis akan menempati berikutnya.Nasionalis disini bisa bermakna orang netral,yakni orang nasionalis beneran (bukan dari ormas agama)atau orang yang tidak punya ikatan kuat dengan salah satu ormas islam,atau ada orang NU yang karena Mentrinya seorang Muhammadiyah maka dengan serta merta ia seperti menjadi Muhammadiyah.
Fenomena kultural yang melatar belakangi warna dua Departemen tersebut di atas hampir merupakan hukum tak tertulis yang mudah saja berubah sewaktu-waktu.dari fenomena tadi yang terpenting untuk diambil hikmah adalah bahwa siapapun yang ingin merebut kekuasaan pendidian,citra manajemen pendidikannya perlu bagus terlebih dahulu.misalnya jika NU ingin di percaya menjadi “pengatur Pendidikan”mak kemampuannya mengelola pendidikan harus di buktikan terlebih dahulu di lapangan di Maarif-maarifnya.ternyata masyarakat Indonesia memang mendasarkan dukungan itu melalui keyakinan bahwa sebuah wakil masyarakat bisa di percaya karena memang popular ahli mengelola di bidang itu.
Sebenarnya cirri pendidikan apa yang selama ini identik pada Muhammadiyah mengelola berbagai pendidikan umum (utamanya sekolah).sementara NU mengelola pesantren-pesantren.kendati pada akhirnya kedua ormas tersebut terkadang sama-sama mengelola pendidikan yang sama,mislnya Muhammadiyah juga kini turut serta mengelola pesantren,dan NU melalui maarif dan inddividu-individunya mengelola pendiddikan umum,namun Muhammadiyah masih tetap bisa diidentikan deengan sekolah umum,sedangkan NU tetap bisa di identikkan dengan pesantren.
Secara kebetulan,pendidikan umum di negeri ini leading dalam berbagai forum pendidikan di banding pesantren.bahkan pesantren sering di lansir sebagai kelompok termarginalkan.maka sampailah kita kepada kenyataan bahwa komunitas pesantren yang secara nyata menyelnggarakan berbagai pendidikan keagamaan tradisional,dengan jumlah santri dann lembaga yang demikian banyak,memang belum masa dan tempatnya untuk mewakili bentuk popular pendidikan nasional.

Peran Departemen Agama                    

Kalau mencermati dua Undang –Undang terkait dengan pendidikan yang baru terbit saat ini,yakni UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU no.14 tahun 2005tentang guru dan dosen, ungkapan “departemen Agama”tidaklah kita temukan seca ra eksplisit di dalamnya,khususnya berkaitan dengan manajemen pengelolaan pendidikan.kita segera bisa menarik kesimpulan dari sana,bahwa pendidikan kita sesungguhnya memang hanya “satu atap”di bawah Mentri Pendidikan.penddidikan secaa umum merupakan wilayah secara umum merupakan wilayah kewenangan Depdiknas.adapun jika kemudian Departemen agama ikut serta mengella secara aktif,terutama atas penyelanggaraan madrasah,maka makna peranan Departemen Agama tersebut bisa bersifat pembantu,sebagai pelaksana tanggung jawab,atau sebagai Departemen yang mendapat pelimpahan kewenangan mengelola pendidikan tertentu.
Kendati kemudian,akhi r-akhir ini kita pernah menyaksikan timbulnya isu manajemenpendidikan ‘satu Atap”.Maksudnya ,semua kewenangan pengelolaan pendidikan secara proporsional akan di  lakukan oleh Depdiknas.Ditingkat Undang-undang,semua itu sangat memungkinkan.apalagi UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kini meembatasi pendidikan kedinasan (yang di kelola olehDeepartemen selain Depdiknas atau Lembaga pendidikan non Departemen )hanya untuk pendidikan profesi setelah jenjang sarjana,serta khusus untuk alon pegawai (pre service training) atau untuk peningkatan kualitas pegawai (in-service Training).sebelumnya,pendidikan kedinasan sangat  ramai dengan Mahasiswa yang umum sifatnya ,tetapi karena satu sistem pendidikan memandang ini tidak proporsional maka semua pengelolaan pendidikan kini terpusat kembali dalam pengelolaan Depdiknas.
Pertanyaannya,kenapa madrasah tidak di kelola juga oleh Depdiknas,sehingga Depag akan lebih berkonsentrasi kepada soal agama?bangsa Indonesia bahkan sejak beberapa waktu telah melakukan berbagai kkalkulasi,mana yang lebih efektif antara sistem pendidikan dua atap ,ataukah satu atap.
Di tingkat Grass Root  kecenderungan pendidikan satu atap tampaknya menguat..Hal itu di picu oleh persoalan internal madrasah yang relatif mengalami berbagai kelemahan teknis pengelolaan dibanding sekolah.Departemen Agama dalam berbagai diskusi mengaku tidak keberatan kalau madrasah dikelola Departemen Agama,sesuai UU.Namun dengan harapan yang sangat besar agar identitas keislaman yang selama ini dikelolanya bisa dijaga.
Harapan yang dikemukakkan Depag ini seolah suatu jawaban tak langsung tentang tidak perlunya pendidikan harus dikelola satu atap.Tambahan lagi,pengelolaan pendidikan satu atap memunculkan kekhawatiran madrasah akan disamakan atau dilebur dengan sekolah,sehingga sejarah madrasah tamat,akan terjadi.
Seperti jelas dalam berbbagai argumentasi yang mengemuka,persoalan satu atau duaa atap menejemen pendidikan nasional bukanlah agenda konstitusional,akan tetapi hanya problem kondisional belaka.Lebih tepatnya tergantung pada kemauan politik (political will) pemerintah.para biroktrat di lingkungan Depdiknas mengaku tahu betul persoalan ini tetapi mereka tidak tahu siapa yang bisa memulai perubahan yang lebih baik dari kondisi yang ada.Demikian pula komentar birokrat Depag tentang hal ini.Orang-orang di lingkungan DPR RI lebih sering menilai ini semua hanya persoalan “ego”sektoral di lingkungan Depdiknas dan Depag.Sehingga ada fenomena ewuh -pikewuh  membicarakannya secara vulgar.
Keadaan ini tentu anomaly dalam dunia pendidikan nasional.Jangan-jangan carut marut manajemen pendidikan ini benar berpengaruh besar dari inefisiensi manajemen pendidikan nasional.Jika memang ternyata dualisme pengelolaan pendidikan ini dirasa tidak efektif,misalnya tumbuhnya berbagai perlakuan diskriminatif,atau semakin panjangnya birokrasi pendidikan,atau seperti kekacauan muktahir tentang sentralisasi sektor agama dan desentralisasi sektor pendidikan,mengapa kerumitan manajemen satu-dua atap manajemen pendidikan ini dibiarkan berlarut hingga harus mengorbankan nasib murid madrasah yang jumlahnya mencapai 15% sekolah formal?
Solusi pemerintah saat ini biasanya adalah peningkatan kualitas masing-masing sektor terhadap pendidikan yang dibinanya.Dan ini terasa tak terlalu bersentuhan denganisu satu-dua atap tadi,sebenarnya.Dengan kata lain,isu itupun dibiarkan mati dengan sendirinya.
Oleh karena alasan menghindari timbulnya ketidak adilan dan ketidak cocokan bidang penanganan,Depag sering juga “membuat sendiri”lembaga-lembaga yang sudah dibuat sebelumnya oleh Depdiknas.Misalnya komite sekolah yang digalakkan pembentukannya oleh Depdiknas.Departemen Agama membuat sendiri Majlis Madrasah.Kelak pada masalah BAN(Badan Akreditasi Nasional)kemungkinan besar akan mengalami hal sama.Dan masih banyak lagi kemiripan-kemiripan masalah lainnya dengan kejadian-kejadian ini.Misalnya apakah BSNP akan merekrut “orang”Depag,ataukah melimpahkan wewenang kepada Depag,atatu cukup berkonsultasi saja?
Sesungguhnya,ini semua bisa dinilai betapa kurang efektifnya manajemen pendidikan nasional di negeri kita.Kekurang efektifan itu antara lain karena seringkali lembaga bentukan Depdiknas juga diminta atau mempunyai tugas dan wewenang yang merambah wilayah pendidikan binaan Depag.Terjadilah di sana berbagai kemungkinan:misalnya overlapping kewenangan.Keterlambatan penerapan kebijakan,terutama yang sering dirasakan oleh madrasah di bawah binaan Depag.
Seharusnya semua ini tidak boleh terjadi karena dampaknya langsung menyentuh nasib generasi bangsa Indonesia.Alangkah buruknya kalau hari depan generasi bangsa yang cemerlang hanya dikorbankan untuk kepentingan tetek bengek birokrasi.Dan ini bisa ditempuh melalui satu atau beberapa alternatif berikut ini:
1.Di tingkat UU,kewenangan antara Depdiknas dan Depag seharusnya sudah diatur secara jelas,sehingga tidak ada keterlambatan yang dampak langsuung pada kerugian waktu yang ditanggung oleh peserta didik.
2.Pendidikan keagamaan diwujudkan dalam direktorat tersendiri di lingkungan Depdiknas sehingga optimalisasi pelayanan yang menyangkut pendidikan keagamaan kelak benar-benar berasal dari satu atap.
3.Kondisi seperti sekarang ini,di mana kewenangan Depag menunggu apapun tentang kebijakan Depdiknas,kemudian Depag menyesuaikannya di lingkungannya berdasarkan pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Depdiknas.Dengan kondisi ini memang madrasah dan pendidikan keagamaan akan banyak dirugikan akan tetapi kalau kewenangan Depag diperkuat dan dipercepat dengan koordinasi yang baik,maka kerugian yang ada mungkin bisa sangat diminimalisir.

Agama dalam Peraturan Perundangan

Di tengah miliu timbul tenggelamnya isu satu-dua atap tadi,orang pperlu mengenali tingkat validitas pengelolaan agama melalui dektor pendidikan di Indonesia.
Konstitusi Indonesia memandang bahwa agama merupakan elemen penting dalam pendidikan.Komitmen ini diwakili oleh berbagai kata kunci dalam berbagai peraturan perundang-undangan,misalnya kata:ketuhanan,keimanan,ketakwaan,dan akhlak mulia.
Kata ketuhanan dalam sila pertama pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa pada mulanya menjadi falsafah bangsa.Ini diartikan bahwa bangsa Indonesia mewajibkan bangsanya harus beragama.Stetmen ini juga pernah di artikan bahwa keberadaan orang Athaise di larang hidup di Negara Indinesia.Dalam ketetapan MPR No.11/ MPR/1978 tentang P4(ekaprasetya panca karya) disebutkan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa,bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaann masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
UUD 1945 meletakan landasan komitmen keberagamaan bangsa Indonesia ini dalam bab X1pasal 29 ayat (1):Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,dan ayat (2) yakni bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu
Selanjutnya Tap MPR No.1V / MPR / 1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN),semakin memperkuat komitmen keragamaan bangsa ini dengan kewajiban pembelajaran pendidikan agama.Inti TAP MPR tersebut menandaskan bahwa pelaksanaan pendidikan agama perlu secara langsung dimasukan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah,mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.
Kelahiran UU Sisdiknas No 20/2003 kembali mengukuhkannya.pasal 3 UU Sisdiknas No.20/ 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional berbunyi:”pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri,dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.selanjutnya,dalam penjelasan umum UU Sisdiknaas di tegaskan bahwa sertategi pertama dalam melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”
Kedudukan –kedudukan agama dalam UU Sisdiknas sekarang ini bahkan memperoleh tempat cukup istimewa karena merupakan satu-satunya bahan ajar yang wajib di pelajarkan secara kumularif diseluruh jalur jenjang,dan jenis pendidikan (pasal 37 dan 38).Yakni mulai dari PAUD(pendidikan anak usia dini)hingga perguruan tinggi.Urutan berikutnya yang memperoleh kedudukan istimewa barulah dengan bahan ajar kewarganegaraan dan bahasa apapun.
Komitmen keberagamaan yang demikian besar ini juga telah mendorong dibentuknya kementrian agama yang resmi berdiri pada 3 januari 1946.Ini sekaligus mencirikan Indonesia dari Negara lain.Di Timur Tengah pada umumnya,tidak kita dapati departemen dengan nama ini.Ada yang mirip misalnya wirazatulAuqof  ( kementrian wakaf )tetapi kewenangannya tidak sama dengan Departemen Agama di sini.Wizaratul Auqof    adalah kementrian di Negara-negara islam di Timur Tengah yang kewenangannya mirip dengan Departemen Agama di Indonesia dengan mengecualikan masalah pendidikan.
Sebagaimana jamak diketahui,kewenangan Departemen Agama di Indonesia kini memang tidak saja hanya asysyuun addiniyah  (masalah-masalah agama ),tetapi juga mengurusi (sebagian)masalah pendidikan.Banyak juga orang bertanya,mengapa Departemen Agama kini berkewenangan dan bahkan lebih sibuk dalam urusan pendidikan?
Barangkali,yang mula-mula tepat untuk diurusi oleh Departemen Agama berkenaan dengan masalah pendidikan hanyalah “pendidikan Agama”Tap.MPR No.1V / MPR /1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN),yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia tidaklah mendelegasikan kewenanganpengelolaannya kepada Departemen Agama.Tetapi andaikata kemudian diurus oleh Departemen Agama,maka maknanyapun karena Departemen Agama mengurusi substansi agamanya,bukan pendidikannya.Atau manajemen pendidikannya.
Tetapi kewenangan Departemen Agama itu ternyata,tidak saja substansi pendidikan agama,akan tetapi juga meluas pada manajemen pengelolaannya..Bahkan tidak hanya  itu,sekolah umum yang bernama madrasah juga kini berada di bawah binaan Departemen Agama.
Sejarah madrasah,yang semula merupakan fenomena pendidikan keagamaan (Madrasah diniyah ataupun majlis taklim)memang berangkat dari ranah pendidikan.Aspek histories inilah barangkali alasan paling kuat mengapa kemudian madrasah,walau sudah dikategorikan menjadi sekolah umum,tetap berada di bawah pengelolaan Departemen Agama,hingga saat ini.
Lingkup kewenangan Departemen Agama yang luas ini kalau mau dibandingkann dengan Negara Islam Timur Tengah maka kurang lebih sepadan dengan Wizaratul Auqof  plus wizaratul ta‘lim di sana. Penyebutan kementrian agama sendiri (wizaratuddiniyah)sebenarnya bahkan tidak ditemukan di sana.
Kesimpulan bahwa jarang sekali di dunia yang memiliki kementrian agama semacam ini seringkali melahirkan tanda Tanya.Misalnya,apakah kewenangannya tidak sebatas mengatur kehidupan keberagamaan,ataukah juga melayani kebutuhan orang beragama,termasuk umpamanya kebutuhan sekte-sekte dan aliran yang biasanya lahir dari setiap agama?
Aturan umum di Negara sekuler biasanya hanya berisi pengaturan sebatas iklim keberagamaannya saja.Misalnya kebebasan keberagamaannya,atau masalah toleransi antar umat beragama.Bahkan masalah moral bangsa pun tidak perlu menjadi persoalan agama.Ini karena  agama sudah dianggap sebagai persoalan pribadi masing-masing orang dan masyarakat.
Mungkin karena Indonesia bukanlah Negara sekuler maka yang diurus oleh Departemen Agama tidak sekedar persoalan moralitas beragama layaknya di Negara sekuler,tetapi juga termasuk substansinya,misalnya persoalan zakat,wakaf,pernikahan,haji,dll.Bahkan oleh karena kemajuan Departemen Agama juga,hal lain yang berbau agama,sungguhpun sebenarnya sudah merupakan agenda persoalan di departemen lain,Departemen agama mempunyai keperdulian dan kewenangan untuk ikut serta mengurusnya.Contohnya,masalah pendidikan madrasah itu.
Pasal-pasal agama dalam peraturan perundangan yang melegitimasi kewenangan pemerintah dalam mengurusi agama sekaligus membantah sementara kalangan yang beranggapan bahwa Negara tidak ada hak mengatur agama.Inilah di Indonesia yang tidak meletakan masalah agama hanya terbatas pada persoalan individu,akan tetapi memiliki segi-segi public di mana pemerintah bila perlu malah dituntut mengaturnya.
Sampai di sini,batasan wilayah kewenangan pengurusan agama ini sebenarnya masih bisa dikatakan kurang jelas.Ini dapat dilihat misalnya dari beberapa polemic yang pada intinya bermuara pada batas wewenang Departemen Agams.Misalnya,Departemen Agama digugat kewenangannya dalam menentukan suatu aliran agama sesat atau tidak.Tren kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini sedang gencar melakukan kampanye sulit dan ganjil dan mustahilnya penjatuhan vonis sesat yang dilakukan oleh Negara atas sebuah keyakinan yang diyakini dan dianut oleh individu bangsa.
Pada isi penddidikan yang di kelola Departemen agama juga tidak luput dari masalah,selain masalah klasik,mengapa pendidikan yang sudah memiliki Mentri tersendiri ,ikut di tangani Departemen Agama adalah masalah perubahan manajemen penddidikan dari Desentralistrik.Timbulnya masalah manajemen pendidikan ini di pengaruhi utamanya oleh implikasi yang di timbulknnya.misalnya nasib Madrassah yang menjadi aneh di tengah kawan-kawannya yang sudah desentralistrik.lalu adanya kebijakan pengelolaan atas Madrasah yang sering kali tertinggal dan selalu di pihak yang kurang beruntung di banding nasib sekolah,oleh karena anggaran dan kebijakan selalu lahir di lingkungan sekolah terlebih dahulu,baru kemudian merambah madrasah.itupun besarannya selalu lebih menguntungkan sekolah.
Perlu di mengerti juga,sebenarnya tidak semua agama di Indonesia merasa happydi atur oleh Negara .Umat Muslim sendiri tidak berarti tidak ada rasa khawatir terhadap kewenangan pemerintah mengatur masalah-masalah keagamaan.Misalnya pesantren,diam-diam mereka menyimpan tingkat kekhawatiran paling tinggi selepas UU Sisdiknas diundangkan.Alasannyaa karena (1)khawatir identiasnya akan memudar oleh campur tangan Negara dan (2) kultur pesantren yang umumnya berupa ‘kerajaan –kerajaan kecil”di mana para kiyai dan keluarganya sangat berkuasa mungkin akan terganggu.
Lebih-lebih Agama katolik.rasa khawatir sangat tampak dari protes-protes mereka menjelang pengundangan UU Sisdiknas.Umat Kristiani bisa di bilang lebih tertutup.Kenapa?karena kewenangan peraturan pendidikan dan agama,pada agama katolik di serahkan kepada kekuasaan gereja.Mengapa umat kristiani tampak paling menolak UU Sisdiknas telah memasuki wilayah agama,yang dalam tradisi Kristiani menjadi wilayah gereja.
Tradisi umat kristiani ini sangat berbeda dari islam yang sifat kedekatannya dengan Negara relative lebih terbuka.urusan pendidikan maupun agama juga tidak terstruktur  hirarkis di tangan masjid atau kiyai sebagaimana dalam agama kristiani.karena tambah lagi ,hirarki kepengurusan agama katolik terstruktur hingga vatikan,edangkan islam dimana pun tidaak memiliki hirarki semacam itu.
Itulah rahasianya,mengapa kemudian umat islam berdiri membela UU Sisdiknas ,vis a vis  umat kristiani.karena keterbukaan atau bahkan ketergaantungan umat islam pada Negara memang lebih merupakan alasan situasional disbanding kaum nasrni.

Pendidika agama dan Keagamaan           

Dalam peraturan perundaang-undangan RI yang lama seperti pada UU RI No.2 tahun 1956,agama-agama tertentu memaang pernah di sebut secara ksplisit,yakni agama islam,Kristen,katolik,hindu,dan budha.penyebutaan kelima agama ini sering menimbulkan penafsiran begini:”agama resmi yang di akui Negara”terebut sesungguhnya tidak pernah ada.dan maknanyapun tidak benar demikian.
Penafsiran yang benar adalah kenyataan dewasa ini,terutama di departemen agama yang hanyaa memiliki lima Direktorat yang menangani urusan agama,bahwa seolah-olah yang mendapatkan pelayanan agama hanyalah ke lima agama itu,benar adanya.sedang yang lainnya”tidak mendapatkan pelayanan”dari Negara mereka yang tidak menikmati fasilitas pelayanan ini ,memaknai sikap Negara seolah-olah “tidak mengakui”legalitas keberadaan mereka.
Yang di makssud pelayanan agama misalnya adanya subsidi  Negara yang di alamatkan secara rutin kepada 5 Agama pernikahan secara agama hanya di layani jika para mempelai adalah penganut salah satu 5 Agama.pelayanan agama ini tidak termasuk pelayanan hak-hak sipil oleh Negara.misalny pemberian jaminan keamanan,memperolehan hak-hak seperti biasa yang bisa di nikmati oleh waarga Negara lainnya.kalaau pelayanan yang terakhir ini mereka memperolehnya.
Jikalau kalimat”agama resmiyang diakui Negara “tidak pernah ada dan tidak pernah benar,semestinya semua pemeluk agama berhak atas perlakuan yang sama.Jika pelayanan ini diberikan untuk semua agama,yang diakui atau tidak diakui,yang legal atau tidak legal (karena tidak ada kategori semacam ini),maka kekhawatiran atas Departemen Agama dipastikan akan semakin menggelembung.Misalnya semua agama yang hidup di Indonesia akan meminta pelayanan agama dengan ukuran pembukaan direktorat urusan tiap-tiap agama.Tetapi itulah konsekuensinya.
Penggelembungan masalah tadi belum termasuk kelompok-kelompok sempalan agama,atau yang menyatakan dirinya murni agama baru,yang keduanya akhirnya mengaku sebagai agama tersendiri dan berhak memperoleh pelayanan serupa.
Kasus pro- kontra pasal-pasal agama dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003bisa diambil sebagai contoh.UU tersebut menyebut”pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan”sebagai model baru bentuk pelayanan Negara dalam memenuhi kebutuhan umat beragama di Indonesia.Pendidikan agama adalah persoalan salah satu mata pelajaran di sekolah / madrasah umum,atau mata kuliah di perguruan tinggi.Sedangkan pendidikan keagamaan adalah lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini berkembang di masyarakat seperti pesantren,diniyah,sekolah minggi Buddhis,Pabbajja samanera,dll.
Pertanyaannya,agama apakah yang dimaksud sesungguhnya oleh UU Sisdiknas tersebut?5 negara tertentu,taukah semua agama?Bagaimana pula dengan aliran atau sekte di setiap agama,apakah akaan memperoleh hak pengajaran agama sehingga benar-benar sesuai dengan keyakinan yang dipeluk?
Dalam hal ini agama Konghucu berulangkali datang mempersoalkan masalah tersebut.Pasalnya,penganut Konghucu seharusnya juga memperoleh layanan pendidikan agama seperti yang tertera dalam UU.Agama Konghucu jelas menolak kalau pelajaran agama yang digunakan untuk mengajari putra-putri mereka bukanlah agama Konghucu seperti yang mereka anut.
Kasus yang sama juga terjadi pada sekte Yehowah dalam agama Kristen ,mereka pernah mempersoalkan hal ini dan menuntut agar dalam UU ada jaminan murid bersekte Yehuweh  akan di beri kepercayaanYehuweh.Meski Yehuwa adalah sekte Kristen akan tetapi mereka tidak mau di ajari oleh orang Kristen oleh karena perbedaan –perbedaan keyakinan yang sangat prinsipil.
Jika pelayana terbatas pada agama tertentu dan menafikan pelayanan kepada agama lainnya tanpa alasan yang jelas,maka maknanya Negara sesungguhnya telah melakukan tindakan diskriminatif atas para pemeluk agama.tetapi misalnya apakah agama seperti  Konghucu dan Sekte yohewah tadi masuk dalam kategori agama.
Ini juga akan berbuntut lagi,jika ukuran agama adalah keyakinan maka kelak orang muhammadiyah juga tidak Mustahil menuntut guru dari Muhammadiyah juga,sebab banyak orang MUhammadiyah tidak mau di ajar islam dengan  caara NU dan vice versa .seperti orang syiah juga tidak akan mau di ajar oleh orang sunni.
Sesungguhnya pasal 12 ayat (2)a UU Sisdiknas tentang hak peserta didik memperoleh agama yang sesuai dengan peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,sudah secara otomatis menjamin hak semua agama,termasuk Konghucu atau sekte-sekte dalam agama.Namun ternyata dengan ini saja banyak agama (atau yang belum resmi disebut agama)tidak merasa puas dengan kesimpulan inplisit pasal 12.Ketidak puasan seperti ini bagi pemerintah memang cukup rumit juga,karena di khawatirkan akan semakin melebar.Misalnya kelak akan datang lagi agama-agama yang baru dan menuntut hak serupa.
Sebabnya,selain meminta jaminandari pasal 12 tentang pendidikan agama,Konghucu juga sah-sah saja menuntut agar pelayanan terhadap pendidikan keagamaan yang berkembang dalam agama Konghucu juga mendapatkan pelayanan yang sama.

Antara Desentralisasi dan Sentralisasi

Isu demokratisasi yang paling mengemuka dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 dapat ditelusuri melalui dua hal yang akan berjalan secara simultan,yaitu pemerdayaan masyarakat dan pemerdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah).Proses demokratisasi pendidikan ini mempunyai arti peranan pemerintah yang selama ini amat besar akan dikurangi,sementara partisipasi masyarakat dan diperbesar.peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistik yang berlangsung selama 50 tahun lebih akan diperkecil dengan memberikan perannan yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
UU Sisdiknas membagi kewenangan pemerintah pusat kini terbatas pada penentuan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan saja untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).pemerintah propinsi diberi kewenangan melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,pengembangan tenaga pendidikan,dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabuten / kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah,sementara pemerintah kabupaten / kota diberikan tugas mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah,serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan local.Selain itu,pemeerintah pusat atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan izindan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun pendidikan non formal (pasal 62 ayat 1),sesuai dengan tugas kewenangan masing-masing.
Jika kewenangan Departemen Agama dalam pengelolaan pendidikan tidak pernah di sebut –sebut ekplisit,lalu bagaimana memahami kedudukan penddidikan di bawah binaan Departemen Agama dewasa ini? Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan ke uangan antara pemerintah pusat dan daerah,urusan departemen agama adalah sentralistik.
Pasal 7 ayat (1) dalam UU No.22 tersebut menyatakan bahwa kewenangan daerah mencaakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan keamanan ,peradilan,dan fiscal,agama seta kewenangan bidang lain.
Pertanyaan lain yang sering mengemuka:apakah Madrasah dan pendidikan keagamaan termassuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang Agama?
Secara dangkal kita dapat memahami baahwa Departemen Agama dalam menangani Agama tentu secara sentralistik sedangkan perannya dalam pengelolaan masalah pndidikan,seharisnya tetap mengikuti peraturan ekonomi di bidang pendidikan,sesuai asas lex spesialis  dalam aturan perundang-undangan.
    Husni Rahim (2005),dalam makalahnya tentang kedudukan Madrasah di era otonomi mengutip dua pendapat yang pernah muncul :
Pertama: yang mengaatakan bahwa pendidikan agama dan penddidikan lain yang di asuh Depatemen agama tidak di otonomikan sebagaimana maaksud asl 7 ayat satu dari Unang-undang No.22 tahun 1999.Ini berarti pendidikan di Departemen Agama di kategorikan sebagai bagian dari siistem Agama,bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kedua: yang mengatakan bahwa pendidikan Agama dan pendidikan yang di kelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan di otonomikan,maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus di otonomikan.
Letak kesulitan penerapan pendidikan di bawah binaan Departemen Agama yang akan di Desentralisasikan,akan berbenturan dengan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,di mana focus pelaksanaan ekonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten Kota.Untuk itu,sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan oleh banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda beda.Sementara masalah pembiayaan di lingkungan departemen agama tetap menganut manajemen sentralistik.
       Sampai saat ini,Departemen agama masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah di seluruh Tanah Air.Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana telah disinggung di atas sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh Departemen Agama.Sementara daerah menjadi pelaksana dari kebijakan pusat seperti selama ini berjalan.Bahkan pemerintah pusat dalam hal ini Depertemen Agama berhak menentukan jenis-jenis program dan target yang semestinya di capai oleh masing-masing madrasah di berbagai tingkatannya.Sekilas,kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan.Namun bila di kaji lebih jauh,ternyata,menurut Husni Rahim(2004)pilihan ini bisa menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul.
     Pertama,sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima,bidang di atas,maka dapat di pastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah hanya berasal dari sektor agama dan boleh jadi di tambah dari sektor pendidikan yang porsinya sudah banyak di daerahkan.
    Kedua boleh jadi madrasah tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan,tetapi manjadi bagian dari sisstem agama sedangkan undang-undang di atas jusru menyerahkan pengelolaan pendidikan,sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat 11.Konsekuensinya,madrasah tidak akan pernah mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana madrasah itu berada.
     Ketiga,boleh jadi budaya otonomi pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari pisat,sehingga para guru dan kepala madrasah tidak menjadi kreatif dalam pengelolaan madrasah karena segala program dan kebijakan madrasah diputuskan dan didisrtibusikan dari pusat.
     Keempat,birokrasi tetap tidak efisien,berbelit-belit sehingga ada persolan dari bawah tidak segera teratasi
     Jika alternatif kedua menjadi pilihan,maka Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah dan sejenisnya ke tangan pemerintah daerah tingkat 11.Itu berarti Departemen Agama (pusat)akan “kehilangan" sasaran pengelolaan madrasah.
   Agama dalam Undang-undang Guru dan Dosen                                      
Dua tahun setelah pengesahan UU No.20 Tahun 2003,lahirlah UU No.14 tentang Gura dan Dosen.Pertanyaannya apakah dalam UU Sisdiknas  tidak di atur pendidikan,dalam hal ini termasuk Guru dan Dosen? Jawabannya,pendidik termasuk di atur dalam Bab tersendiri.Tetapi desakan dari bawah mnyatakan bahwa UU Sisdiknas kuraang memadai dalam pengaturan pendidik,terutama pada sisi peningkatan mutu pendidik menjadi tenaga professional dan kesejahteraannya.UU Sisidiknas hanya mengatur hanya mengatur kualifikasi pendidik dan pembinaan kariernya yang kurang lebih ssama dengan UU sebelumnya sehingga di anggap tidak ada kemajuan apa-apa di dalamnya.Padahal pendidik lah pelaku Reformasi penndidikan yang sesungguhnya.
       UU guru dan Dosen sebenarnya dalah lanjutan proses Reformasi setelah UU Sisdiknas di tengah penerapan UU Sisdiknas,kondisi di lapangan menunjukan bahwa Indonesia sesungguhnya mengalami situasi Brain drain  tenaga pendidik.orang-orang pandai banyak eksodus meniggalkan profesi pendidik untuk menari kehidupan dengan penghasilan yang lebih layak.jadilah tenaga pendidik di isi oleh orang-orang yang secara berkualifikasi akademik berada si lapis setelahnya (bukan The Best) ,keculi sebagian yang memilihnya dengan “panggilan nurani.untuk mendidik bangsa.mereka mengaku lalu berpenghasilan sedikit tetapi hati mereka puas dan merasa kayak arena bisa menunaikan tugas mulia,yakni mendidik angsa.
      Banyak survey membuktikan bangsa Indonesia ternyata emilih profesi guru sebagai pilihan buntut (akhir),misalnya ada yang menjatuhkan pilihannya menjadi guru rata –rata di urutan ke enam setelah pilihaan menjadi PNS.Merekaa realistis saja,bahwa tuas mulia sebagai pendidik tidak bisa berjalan baik dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan.
     Akhirnya banyak para peenggemar hati penidikan,terutama rganisasi-organisasi guru (PGRI,misalnya) menilaai bahwa UU Guru adalah hal yang sangat strategis sebaaik apapun sebuah Negara mampu mengeluarkan produk perturan perundang-undangan mengenai pendidikan,akan tetapi apabila tidak di sertai dengan perbaikan mutu dan kualittas ppendidik,ternyata ddi rasakan sangatlah kurang efektif untuk bisa segera menyelesaikan masalah-masalah fundmental.
     UU Guru dan Dosen kemudian menjadi Rformassi Indonesia di bidang penddidik.UU ini bertujuan untuk meningkatkan martabat penddidik dengan menjadikan mereka tenaga professional penghasilan mereka di jamin ddi atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok tunjangan yang meleekat pada gaji,serta penghasilan lain berupa tunjangan lain,tunjangan fungsional,tunjangan khusus,dan maslahat tambahan yang terkait.penghasilan tersebut berlaku untuk peendidik di sekolah negeri maupun swasta.untuk menjadi pendidik pofesional,seorang pendidik di haruskan meemenuhi beberapa persyaratan,antara lain memenuhi kualifikasi akademik minmal,dan memperoleh “sertifikat Profesi) terlebih dahulu.
     UU baru ini kalau di kaitkan dengan nasib enddidikan islam,terutama yang berada,di bawah binaan Departemen Agama ukup bnyak menunjang pertanyaan.Misalnya siapa yang akan engelola sertifikasi profesi pendidik di lingkungan depag.apakah juga Depdiknas? Lagi-lagi persoalannya berporos ke masalah pendidikan Indonesia yang mengacu pada satu sistem dengan pimpinan Depdiknnas,sehingga Depag dalam hal itu akan menjadi makmum dengan sederet agenda ang selalu akan tertinggal.
       Apa lagi kaalau ini kita analogikan ke UU Sisdiknas,ketentuan pendidikan ke agamaan adaanya sangat umum,sedikit,singkat,dan sesungguhnya kurang jelas itu akan di arahkan ke mana?
       Apakah UU sisdiknas dan UU Guu dan Dosen ini akan benar-benar ppunya pengaruh signifikan terhadap penddidikan keagamaan,misalnya?seharusnya ya.dalam UU Sisdiknas sudah di peroleh pengakuan penyederatannya dengan pendidikan formal lain melalui pemenuhan persyaratan yang di perlukan ini mempunyai makna guru dan Dosen di lingkungan pendidikan keagamaan juga harus memperoleh pelayanan yang sama.
      Siapakah pndidik di lingkungan pendidikan keaagaamaan? Mereka bukan hanya Guru dan dosen,akan tetaapi juga ustadz dan terkadang para kiyai.maka ada baiknya jika ke depan juga di pikirkan oleh bangsa ini apakah penghargaan kepada kaum agamawan aakan menjadi kebijakan baru masa depan? Sebagai mana yang terjadi di negaara lain,khotib dan imam di Masjid-Masjid mendapat gaji dan tunjangan dari pemerintah.
      Penggaajian atas khotib dan imam di Majid-Masjid tersebut,sedikitnya ada dua ke untungan akan di peroleh dari sana:
     Pertama :sistem penggajian imam dan khotib di Masjid –Masjid akan memberi ruangan lebih lebar bagi pendidikan keagamaan dan lulusannya,sselebar lapangan kerja yang selama ini emang menjadi lahan mereka;
    Kedua  ;isstem penggajian imam dan khotib di Masjid –Masjid akan lambat laun menjadi trigger  bagi peningkatkan stanndar kualitas imam/hoib secara umum,setelah selama ini ke mampuan mereka sangat bergam dan tidak ada standar yang di pakai.
    Di Turki,sistem khottib dan imam di persiapkan dalam bentuk sekolah tersendiri penggajian atas mereka di jaamin dalam UU.selain untuk menyediakan lapangan kerja dan peningkatan standar mutu khotib dan imam,kebijakan UU Turki ini juga ddi manfaatkan untuk meredam gejolak buruk yang sering kali timbul dari kalangan komunitas muslim garis keras.
     Beberapa kemungkinan dan harapan semacam ini jangan di biarkan tidak kelihatan,selain karena pendidikan keagamaan masih baru di akui UU,pengatuannya juga maih sangat umum.Detailnya belum ada contoh sebelumnya.