Oleh : Jamridafrizal
Setiap agama memposisikan dirinya
sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia
ini.Termasuk di dalamnya pendidikan para penganut agama islam,Kristen dan
Katolik misalnya,akhirnya memaksakan integrasi agama pendidikan hingga kepada
simbol keagamaan lembaga-lambaga pendidikan yang mereka kelola.Awal sejarah
pendidikan di negeri ini pun sebenarnya sudah di awali dengan fenomena itu.jauh
sebelum Indonesia merdeka,mereka telah menyebarkan agama melalui
penyelenggaraan pendidikan.
Agama akhirnya diakomodasi oleh
kontitusi Indonesia sebagai bagian tak terpiaskan dari sektor
pendidikan.konsekuensinya,semua lembaga pendidikan,termasuk sekolah-sekolah
yang di kelola oleh Negara pun yang sering kali lebih di tuntut untuk menjadi
netral tidak bisa di lepaskan dari kelaziman ini.
Tak haya itu pemenuhan kebutuhan dasar
integrasi agama pendidikan ini akhirnya di sebut-sebut turut melatar belakangi
kelahiran manajemen pendidikan Indonesia ke dalam dua pilar pelayanan
peendidikan,yakni pelayanan yang di lakukan oleh departemen pendidikan nasional
dan Departemen Agama.Meski manajemen pelayanan pendidikan ini secara umum
menjadi tanggungjawab Mentri Pendidikan,sebagaimana di tuangkan dalam UU
Sisdiknas,namun dualisme pelaksanaannya yang relatif terpisah sering
menimbulkan persoalan.
Sebenarnya,tidaklah berlebihan bagi
Negara yang memiliki penduduk beragama memberikan perhatian kepada agama,sama
pentingnya dengan perhatian yang di berikan untuk pendidikan.Di banyak
Negara,tokoh agama sangat di pandang penting karena peran mereka yang
sidnifikan dalam keikut sertaannya mempengaruhi arah dan kebijakan
Negara.Ketokohan pemuka agama di Cina,misalnya,di sejajarkan dengan tokoh pendidikaan.Di
negeri komunis itu gaji tertinggi di berikan kepada Biksu dan Guru,yakni setara
dengan direktur kelas menengah di sana.Di Saudi Arabia dan Iran,perhatian
kepada Mullah dan Ayatullah (ulama)bahkan melebihi perhatian Negara pada sektor
apapun,demikian pula di mesir dan Turki,walau gaji imam dan khotib tidak
besar,akan tetapi perhatian Negara kepada agama tampak hingga pada persoalan
gaji-gaji para ulama.
Di Indonesia ini sebagai mana jamak di
ketahui nasib pemuka agama mungkin memang tidak sama dengan kondisi di
Negara-negara yang telah kita sebutkan.Hirarki penggajian Pendeta dan Pastur di
atur sendiri oleh internal organisasi agama yang bersangkutan.Banyak para Kyai
dan Ustad swasta (selain guru agama negeri).mengandalkan penerimaan infak dan
balas budi masyarakat atas pengajaran agama yang di berikannya hampir secar
murni.
Sistem Pendidikan Nasional
Pengelolaan pendidikan yang baik
sebenarnya adalah pendidkan yang dapat memanfaatkan potensi Budaya yabg tumbuh
dan berkembang di Indonesia yang di huni oleh bermacam suku,agama,dan adapt
istiadat yang sangat berbeda satu sama lain,maka seberagam itu pula pola
pendidikan yang mereka kembangkan.Atas dasar ini konstitusi UUD 1945 dan UU
Sisdiknas mengemanatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan dengan melestarikan
keaneka ragaman penyelenggaraan pendidikan di masyarakat,akan tetapi berada
dalam satu payung pengelolaan,bernama “Sistem pendidikan Nasional”.
Undang –undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945 Pasal 31 ayat (3)mengemanatkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan ke imanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa
yang diatur dengan undang-undang”.Tangungjawab pengelolaan satu sistem
pendidikan ini menjadi tugas Mentri Pendidikan.
Di dalam ssatu sistem itu,di harapkan
keragaman penyelenggaraan pendidikan bisa melahirkan ke kuatan pendidikan yang
dahsyat.
Keragaman penyelenggaraan penndidikan di
Indonesia dapat di telusuri dalam dua kategori:pertama,keragaman yang di
lakukan oleh masyarakat dengan tingkat keratifitas yang rendah.Masyarakat
semacam ini sebenarnya cenderung memilih keseragaman ena di anggap
memudahkan.keseragaman tersebut antara lain dalam bentuk nomenklatur satuan
pendidikan,seragam sekolah,hari masuk dan libur sekolah,sistem
penilaian,dsb.Misalnya masalah masalah keseragaman kurikulum.walau UU sudah
menyuruh agar masing-masing sekolah menyusun sendiri kurikulumnya,banyak para
guru dan sekolah angkat tangan melakukannya.Mereka
lebih suka menggunakan kurikulum yang di keluarkan oleh pemerintah.Bahkan pada
tingkat silabuspun (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),mereka lebih suka
menggunakan paket yang sudah jadi pemerintah.
Kategori kedua terdapat pada masyarakat
yang memiliki tingkat kreatif cukup tinggi (yang ini minoritas).Mereka
cenderung menyebut pemerintah sampai saat ini terlalu banyak mengatur
pendidikan hingga hal-hal yang tidak seharusnya diatur.Terutama sekolah-sekolah
swasta,banyak sekali sekolah yang jika tingkat kemandiriannya sudah cukup
tinggi,menginginkan pemerintah cukup mengukur hasil pendidikannya saja.Proses
penyelenggaraan pendidikannya tidak usah diatur.Mau menggunakan kurikulum atau
sistem penilaian apapun silahkan saja.Mau pakai nama SD,MI,Salafiah,Vidia
laya,terserah saja.Apalagi hanya masalah lama waktu belajar,kalender
pendidikan,janjang pendidikan,seragam,dan hal lain yang sebenarnya tidak perlu
diatur.Yang terpenting adalah mutu keluaran setiap lembaga pendidikan bisa di
pertanggungjawabkan,dalam arti kalau,dites memenuhi kompetensi sesuai
jenjangnya.
Dalam menanggapi kecenderungan masyarakat
yang sangat kreatif ini,pemerintah sering mengaku bersikap realistis.Pemerintah
memandang mudarat pelepasan begitu saja proses pendidikan di masyarakat,dengan
kondisi majemuk seperti sekarang,bisa justru bisa membahayakan hasil (out
come)pendidikan itu sendiri.Dikontrol secara seragam saja kenyataannya hasil
pendidikan kita jauh dari setandar,apatah lagi di lepaskan.Atas dasar ini maka
penyeragaman,terutama pada hal-hal tertentu harus di jalankan.Dengan paradigma
ini lalu pemerintah mengatur kerangka dasar kurikulum,melakukan ujian
Nasional,menetapkan kalender,jam pembelajaran dll.
UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003
mengistilahan penyeragaman terhadap hal tertentu tersebut sebagai setandarisasi
Nasional pendidikan (SNP).Tujuannya untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu
dan berdaya saing.SNP dapat di gunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan
yang berkembang di masyarakat “secara
liar”dengan kebijakan Negara melalui deal-deal
yang bisa ddisepakati.SNP dengan demikian di perlukan agar Negara dapat
melestarikan keragaman yang menjamin satu lembaga pendidikan dengan lainnya
agar saling bersinergi dan saling melengkapi.
Pendidikan yang ideal seharusnya di bina
hingga kualitasnya jauh melebihi standar minimal yang di tetapkan dalam
SNP.karennya melalui SNP ini,Negara perlu memberi ruang bagi elastisitas
pendidikan yang berkembang di masyarakat miaslnya melalui sebuah prinsip Multy entry dan multi exsit (terbuka
dan multi makna).Prinsip ini memungkinkan lulusan seluruh pendidikan yang
terstandar-dengan keragaman-akan memiliki akses yang sama bagi peserta didik
untuk dapat pindah,melanjutkan,atau memasuki suatu istansi pekerjaan publik.
Pada jalur pendidikan formal standarisasi
pendidikan di jalankan dengan 3 proses pengendalian dan peningkatan mutu
pendidikan (a) evaluasi (b) akreditsi dan (c) sertifikasi.
Pada jalur pendidikan non formal dan in
formal juga di lakukan standarisasi pendidikan dengan orientasi mutu yang
menjamin pengukuran kompetensi masing –masing bidang dalam memenuhi
kebutuhan.Di samping itu ,pendidikan jenis ini juga bisa di setarakan dengan
kualitas pendidikan formal,jika di perlukan,setelah melalui uji kesetaaraan.
Standar nasional Pendidikan (SNP) yang di
amanatkan UU Sisdiknas nomor 20/2003 bahkan akhirnya melahirkan sebuah badan
baru yang relative independent bernama BSNP (Badan Standar Nasional
Pendidikan).Aturan standarisasi pendidikan kemuddian di tuangkan secara lebih
rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004.Dengan aturan baru ini ,semua jenis
pendidikan yang selama ini tidak di akui persamaannya dengan pendidikan umum
formal,dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.Satu persatu
pendidikan tradisionalpun kini mulai gembira karena akan memiliki hak yang
tidak jauh beda dari sekolah yang biasa dianakemaskan Negara.
Pengalaman pendidikan Islam berbasis
masyarakat-menunjukan bahwa proses akulturasi budaya pendidikan Islam ke dalam
sistem pendidikan nasional ternyata tidak terjadi dalam satu tahap secara
mudah.Akan tetapi berjalan secara bertahap dan sering kali tidak mudah.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia
mula-mula hanyalah pendidikan keagamaan untuk penyebarann agama.Ketika zaman
Penjajahan datang,terjadi politik
pendidikan diskriminatif karena pemerintah penjajahan memandang rendah
pendidikan pribumi.Konisi itu berubah setelah umat Islam mengembangkan sekolah
umum.Termasuk ketika dalam tradisi pendidikan Islam tumbuh tradisi Madrasah
yang akhirnya berubah menjadi sekolah umum berciri agamma islam.dari catatan
proses akulturasi pendidikan Islam,dengan manajemen pendidikan
nasional,terdapat beberapa catatan yang perlu digaris bawahi:
·
Bahwa dengan satu sistem
pendidikan,sebenarnya isu dualisme “dua atap”pengelolaan pendidikan tidaklah
ada,dan sebenarnya merupakan ungkapan yang tidak benar.Yang dimaksud denga
dualisme pengelolaan pendidikan biasnya adalah dualisme antara Departemen
Pendidikan Nasional yang mengatur sekolah dan perguruan tinggi umum,dengan
Departemen Agama yang mengelola madrasah dan pendidikan keagamaan.Ini tidak
beenar karena masih banyak departemen lain selain departemen agama yang juga
menyelenggarakan pendidikan,yaitu yang disebut dengan pendidikan kedinasan.Pendidikan
kedinasan diselenggarakan oleh departemen (selain Departemen Pendidikan
Nasional}atau Lembaga Pendidikan Non
Departemen untuk mendidik pegawai atau calon pegawai sesuai kebutuhan
penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.Isu dualisme mencuat karena jumlah
sekolah dan madrasah merupakan yang terbanyak di Indonesia.
·
Karena dalan satu sistem
pendidikan,pemerintah,mempunyai daya untuk mengawasi dan membina pendidikan
yang diselenggarakan oleh siapapun di negeri ini,maka pemerintah bertanggungjawab
untuk membinanya agar sesuai tijuan pendidikan nasional.Dalam pengertian
ini,sebenarnya semua hal yang dapat dikategorikan sebagai mengandung unsure
pendidikan,maka Mendiknas mempunyai hak dan kewenaangan
mengontrol,membina,mengawasi,dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada hal
menyeleweng dari tujuan pendidikan nasional.Termasuk tayangan TV atau tabloid
yang mengandung unsur pendidikan.Atas dasar ini maka UU Sisdiknas yang
mengelurkan regulasi terhadap pendidikan
keagamaan menemukan alasannya.
Organisasi Sosial Keagamaan dan Manajemen Pendidikan Nasional
Selama ini,setiap kali
kursi Mentri pendidikan akan mengalami pergantian,beredarlah kasak-kusuk
seperti ini:kursi Mentri pendidikan biasanya diproyeksikan untuk diisi,kalau
tidak ada orang nasionalis,ya orang dari ormas Muhammadiyah.Apa makna di balik
kasak-kusuk yang kita dengar ini?Mengapa bukan diperuntukan bagi orang NU yang
mayoritas,atau orang Kristiani yang terkenal memiliki banyak lembaga pendidikan
maju?
Semua kekuatan orpol
maupun ormas di Indonesia wajar saja mengincar kursi nomor satu,dua,tiga di
Depdiknas.Selain karena pendidikan punya nilai strategi luar biasa dalam
menciptakan geneerasi bangsa,perebutan kursi di sana juga merupakan pembangunan
imej bagi suatu perwakilan komunitas,serta konon kabarnya,bermanfaat juga bagi
perkembangan internal lembaga pendidikan yang punya emosi kedekatan dengan
kekuasaan.
Secara kebetulan kita
bisa menyaksikan Mentri Pendidikan secara berturut-turut dijabat oleh
orang-orang penting di pengurusan Muhamadiyah dan Partai Amanat
Nasional(PAN).Mulai dari Yahya Muhaimin,Malik Fadjar,dan kini Bambang
Sudibyo.Jika direnungkan,Muhammadiyah dekat dengan departemen pendidikan memang
ada betulnya,atas alasan berikut ini (1)jabatan mentri pendisikan akan selalu
diperebutkan oleh mayoritas orang muslim,mengingat urgensi jabatan ini selalu
bersentuhan langsung dengan hajat rakyat banyak. (2) di upayakan harus dari
kalangan Muhammadiyah,karena ormas islam paling menonjol bidang pendidikannya
adalah Muhammadiyah .
Jika perebutan kursi
Departemen pendidikan di proyeksikan untukkelompok masyarakat yang terlatih
mengelola pendidikan dengan baik,maka Muhammadiyah agaknya pantas berada ddi
peringkat teeratas,kelompok berikutna mungkin Katolik/Kristen,mungkin NU.
Fenomena yang sama juga
melanda Departemen lain,misalnya Departemen Agama yang dekat dengan kegiatan
keagamaan maka auranya pun di tangkap masyarakat lebih dekat ke NU.Mentri agama
pertama adalah K.H.Wahid Hasyim.Belakangan ini kita melihat warga NU
berturut-turut menjadi Mentri Agama.yaitu Talhah Hasan,Sayyid Agil Al
Munawwar,dan kemudian Maftuh Basyuni.
Meski setiap kali
menjelang penyusunan cabinet,NU terdengar mengincar jabatan Mentri Pendidikan,tetapi kenyatannya
harapan harapan itu belum terkabul.jika
kita bisa melongokke dalam lagi,bahkan pejabat setingkat di bawah menteri atau
ke bawahnya lagi,juga banyak di borong oleh orang-orang yang “sebendera”dengan
sang Mentri.Kalaulah tidak sebendera,maka miimal orang naionalis akan menempati
berikutnya.Nasionalis disini bisa bermakna orang netral,yakni orang nasionalis
beneran (bukan dari ormas agama)atau orang yang tidak punya ikatan kuat dengan
salah satu ormas islam,atau ada orang NU yang karena Mentrinya seorang
Muhammadiyah maka dengan serta merta ia seperti menjadi Muhammadiyah.
Fenomena kultural yang
melatar belakangi warna dua Departemen tersebut di atas hampir merupakan hukum
tak tertulis yang mudah saja berubah sewaktu-waktu.dari fenomena tadi yang
terpenting untuk diambil hikmah adalah bahwa siapapun yang ingin merebut
kekuasaan pendidian,citra manajemen pendidikannya perlu bagus terlebih
dahulu.misalnya jika NU ingin di percaya menjadi “pengatur Pendidikan”mak
kemampuannya mengelola pendidikan harus di buktikan terlebih dahulu di lapangan
di Maarif-maarifnya.ternyata masyarakat Indonesia memang mendasarkan dukungan
itu melalui keyakinan bahwa sebuah wakil masyarakat bisa di percaya karena
memang popular ahli mengelola di bidang itu.
Sebenarnya cirri
pendidikan apa yang selama ini identik pada Muhammadiyah mengelola berbagai
pendidikan umum (utamanya sekolah).sementara NU mengelola
pesantren-pesantren.kendati pada akhirnya kedua ormas tersebut terkadang
sama-sama mengelola pendidikan yang sama,mislnya Muhammadiyah juga kini turut
serta mengelola pesantren,dan NU melalui maarif dan inddividu-individunya
mengelola pendiddikan umum,namun Muhammadiyah masih tetap bisa diidentikan
deengan sekolah umum,sedangkan NU tetap bisa di identikkan dengan pesantren.
Secara
kebetulan,pendidikan umum di negeri ini leading dalam berbagai forum pendidikan
di banding pesantren.bahkan pesantren sering di lansir sebagai kelompok
termarginalkan.maka sampailah kita kepada kenyataan bahwa komunitas pesantren
yang secara nyata menyelnggarakan berbagai pendidikan keagamaan
tradisional,dengan jumlah santri dann lembaga yang demikian banyak,memang belum
masa dan tempatnya untuk mewakili bentuk popular pendidikan nasional.
Peran Departemen Agama
Kalau mencermati dua
Undang –Undang terkait dengan pendidikan yang baru terbit saat ini,yakni UU
Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU no.14 tahun 2005tentang guru dan dosen,
ungkapan “departemen Agama”tidaklah kita temukan seca ra eksplisit di
dalamnya,khususnya berkaitan dengan manajemen pengelolaan pendidikan.kita
segera bisa menarik kesimpulan dari sana,bahwa pendidikan kita sesungguhnya
memang hanya “satu atap”di bawah Mentri Pendidikan.penddidikan secaa umum
merupakan wilayah secara umum merupakan wilayah kewenangan Depdiknas.adapun
jika kemudian Departemen agama ikut serta mengella secara aktif,terutama atas
penyelanggaraan madrasah,maka makna peranan Departemen Agama tersebut bisa
bersifat pembantu,sebagai pelaksana tanggung jawab,atau sebagai Departemen yang
mendapat pelimpahan kewenangan mengelola pendidikan tertentu.
Kendati kemudian,akhi
r-akhir ini kita pernah menyaksikan timbulnya isu manajemenpendidikan ‘satu
Atap”.Maksudnya ,semua kewenangan pengelolaan pendidikan secara proporsional
akan di lakukan oleh Depdiknas.Ditingkat
Undang-undang,semua itu sangat memungkinkan.apalagi UU Sisdiknas No.20 tahun
2003 kini meembatasi pendidikan kedinasan (yang di kelola olehDeepartemen
selain Depdiknas atau Lembaga pendidikan non Departemen )hanya untuk pendidikan
profesi setelah jenjang sarjana,serta khusus untuk alon pegawai (pre service training)
atau untuk peningkatan kualitas pegawai (in-service
Training).sebelumnya,pendidikan kedinasan sangat ramai dengan Mahasiswa yang umum sifatnya
,tetapi karena satu sistem pendidikan memandang ini tidak proporsional maka
semua pengelolaan pendidikan kini terpusat kembali dalam pengelolaan Depdiknas.
Pertanyaannya,kenapa
madrasah tidak di kelola juga oleh Depdiknas,sehingga Depag akan lebih
berkonsentrasi kepada soal agama?bangsa Indonesia bahkan sejak beberapa
waktu telah melakukan berbagai kkalkulasi,mana yang lebih efektif antara sistem
pendidikan dua atap ,ataukah satu atap.
Di tingkat Grass Root kecenderungan pendidikan satu atap tampaknya
menguat..Hal itu di picu oleh persoalan internal madrasah yang relatif
mengalami berbagai kelemahan teknis pengelolaan dibanding sekolah.Departemen
Agama dalam berbagai diskusi mengaku tidak keberatan kalau madrasah dikelola
Departemen Agama,sesuai UU.Namun dengan harapan yang sangat besar agar
identitas keislaman yang selama ini dikelolanya bisa dijaga.
Harapan yang dikemukakkan
Depag ini seolah suatu jawaban tak langsung tentang tidak perlunya pendidikan
harus dikelola satu atap.Tambahan lagi,pengelolaan pendidikan satu atap
memunculkan kekhawatiran madrasah akan disamakan atau dilebur dengan
sekolah,sehingga sejarah madrasah tamat,akan terjadi.
Seperti jelas dalam
berbbagai argumentasi yang mengemuka,persoalan satu atau duaa atap menejemen
pendidikan nasional bukanlah agenda konstitusional,akan tetapi hanya problem
kondisional belaka.Lebih tepatnya tergantung pada kemauan politik (political
will) pemerintah.para biroktrat di lingkungan Depdiknas mengaku tahu betul
persoalan ini tetapi mereka tidak tahu siapa yang bisa memulai perubahan yang
lebih baik dari kondisi yang ada.Demikian pula komentar birokrat Depag tentang
hal ini.Orang-orang di lingkungan DPR RI lebih sering menilai ini semua hanya
persoalan “ego”sektoral di lingkungan Depdiknas dan Depag.Sehingga ada fenomena
ewuh -pikewuh membicarakannya secara vulgar.
Keadaan ini tentu anomaly
dalam dunia pendidikan nasional.Jangan-jangan carut marut manajemen pendidikan
ini benar berpengaruh besar dari inefisiensi manajemen pendidikan nasional.Jika
memang ternyata dualisme pengelolaan pendidikan ini dirasa tidak
efektif,misalnya tumbuhnya berbagai perlakuan diskriminatif,atau semakin
panjangnya birokrasi pendidikan,atau seperti kekacauan muktahir tentang
sentralisasi sektor agama dan desentralisasi sektor pendidikan,mengapa
kerumitan manajemen satu-dua atap manajemen pendidikan ini dibiarkan berlarut
hingga harus mengorbankan nasib murid madrasah yang jumlahnya mencapai 15%
sekolah formal?
Solusi pemerintah saat
ini biasanya adalah peningkatan kualitas masing-masing sektor terhadap
pendidikan yang dibinanya.Dan ini terasa tak terlalu bersentuhan denganisu
satu-dua atap tadi,sebenarnya.Dengan kata lain,isu itupun dibiarkan mati dengan
sendirinya.
Oleh karena alasan
menghindari timbulnya ketidak adilan dan ketidak cocokan bidang
penanganan,Depag sering juga “membuat sendiri”lembaga-lembaga yang sudah dibuat
sebelumnya oleh Depdiknas.Misalnya komite sekolah yang digalakkan
pembentukannya oleh Depdiknas.Departemen Agama membuat sendiri Majlis
Madrasah.Kelak pada masalah BAN(Badan Akreditasi Nasional)kemungkinan besar
akan mengalami hal sama.Dan masih banyak lagi kemiripan-kemiripan masalah
lainnya dengan kejadian-kejadian ini.Misalnya apakah BSNP akan merekrut
“orang”Depag,ataukah melimpahkan wewenang kepada Depag,atatu cukup
berkonsultasi saja?
Sesungguhnya,ini semua
bisa dinilai betapa kurang efektifnya manajemen pendidikan nasional di negeri
kita.Kekurang efektifan itu antara lain karena seringkali lembaga bentukan
Depdiknas juga diminta atau mempunyai tugas dan wewenang yang merambah wilayah
pendidikan binaan Depag.Terjadilah di sana berbagai kemungkinan:misalnya overlapping
kewenangan.Keterlambatan penerapan kebijakan,terutama yang sering dirasakan
oleh madrasah di bawah binaan Depag.
Seharusnya semua ini
tidak boleh terjadi karena dampaknya langsung menyentuh nasib generasi bangsa
Indonesia.Alangkah buruknya kalau hari depan generasi bangsa yang cemerlang
hanya dikorbankan untuk kepentingan tetek
bengek birokrasi.Dan ini bisa ditempuh melalui satu atau beberapa
alternatif berikut ini:
1.Di tingkat
UU,kewenangan antara Depdiknas dan Depag seharusnya sudah diatur secara jelas,sehingga
tidak ada keterlambatan yang dampak langsuung pada kerugian waktu yang
ditanggung oleh peserta didik.
2.Pendidikan keagamaan
diwujudkan dalam direktorat tersendiri di lingkungan Depdiknas sehingga
optimalisasi pelayanan yang menyangkut pendidikan keagamaan kelak benar-benar
berasal dari satu atap.
3.Kondisi seperti
sekarang ini,di mana kewenangan Depag menunggu apapun tentang kebijakan
Depdiknas,kemudian Depag menyesuaikannya di lingkungannya berdasarkan
pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Depdiknas.Dengan kondisi ini memang
madrasah dan pendidikan keagamaan akan banyak dirugikan akan tetapi kalau
kewenangan Depag diperkuat dan dipercepat dengan koordinasi yang baik,maka
kerugian yang ada mungkin bisa sangat diminimalisir.
Agama dalam Peraturan Perundangan
Di tengah miliu timbul
tenggelamnya isu satu-dua atap tadi,orang pperlu mengenali tingkat validitas
pengelolaan agama melalui dektor pendidikan di Indonesia.
Konstitusi Indonesia
memandang bahwa agama merupakan elemen penting dalam pendidikan.Komitmen ini
diwakili oleh berbagai kata kunci dalam berbagai peraturan
perundang-undangan,misalnya kata:ketuhanan,keimanan,ketakwaan,dan akhlak mulia.
Kata ketuhanan dalam sila
pertama pancasila yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa pada mulanya menjadi falsafah bangsa.Ini diartikan bahwa bangsa
Indonesia mewajibkan bangsanya harus beragama.Stetmen ini juga pernah di
artikan bahwa keberadaan orang Athaise di larang hidup di Negara
Indinesia.Dalam ketetapan MPR No.11/ MPR/1978 tentang P4(ekaprasetya panca karya)
disebutkan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa,bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh
karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaann masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
UUD 1945 meletakan
landasan komitmen keberagamaan bangsa Indonesia ini dalam bab X1pasal 29
ayat (1):Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,dan ayat (2) yakni bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu
Selanjutnya Tap MPR No.1V
/ MPR / 1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN),semakin memperkuat komitmen
keragamaan bangsa ini dengan kewajiban pembelajaran pendidikan agama.Inti TAP
MPR tersebut menandaskan bahwa pelaksanaan pendidikan agama perlu secara
langsung dimasukan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah,mulai dari sekolah
dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.
Kelahiran UU Sisdiknas No
20/2003 kembali mengukuhkannya.pasal 3 UU Sisdiknas No.20/ 2003 tentang fungsi
dan tujuan pendidikan nasional berbunyi:”pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri,dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.selanjutnya,dalam
penjelasan umum UU Sisdiknaas di tegaskan bahwa sertategi pertama dalam
melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan
pendidikan agama dan akhlak mulia”
Kedudukan –kedudukan
agama dalam UU Sisdiknas sekarang ini bahkan memperoleh tempat cukup istimewa
karena merupakan satu-satunya bahan ajar yang wajib di pelajarkan secara
kumularif diseluruh jalur jenjang,dan jenis pendidikan (pasal 37 dan 38).Yakni
mulai dari PAUD(pendidikan anak usia dini)hingga perguruan tinggi.Urutan
berikutnya yang memperoleh kedudukan istimewa barulah dengan bahan ajar kewarganegaraan dan bahasa apapun.
Komitmen keberagamaan
yang demikian besar ini juga telah mendorong dibentuknya kementrian agama yang
resmi berdiri pada 3 januari 1946.Ini sekaligus mencirikan Indonesia dari
Negara lain.Di Timur Tengah pada umumnya,tidak kita dapati departemen dengan
nama ini.Ada yang mirip misalnya wirazatulAuqof ( kementrian wakaf )tetapi kewenangannya
tidak sama dengan Departemen Agama di sini.Wizaratul
Auqof adalah kementrian di Negara-negara islam di
Timur Tengah yang kewenangannya mirip dengan Departemen Agama di Indonesia
dengan mengecualikan masalah pendidikan.
Sebagaimana jamak
diketahui,kewenangan Departemen Agama di Indonesia kini memang tidak saja hanya
asysyuun addiniyah (masalah-masalah agama ),tetapi juga
mengurusi (sebagian)masalah pendidikan.Banyak juga orang bertanya,mengapa
Departemen Agama kini berkewenangan dan bahkan lebih sibuk dalam urusan
pendidikan?
Barangkali,yang mula-mula
tepat untuk diurusi oleh Departemen Agama berkenaan dengan masalah pendidikan
hanyalah “pendidikan Agama”Tap.MPR No.1V / MPR /1973 yang kemudian dikokohkan
kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara(GBHN),yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah-sekolah di Indonesia tidaklah mendelegasikan kewenanganpengelolaannya
kepada Departemen Agama.Tetapi andaikata kemudian diurus oleh Departemen
Agama,maka maknanyapun karena Departemen Agama mengurusi substansi
agamanya,bukan pendidikannya.Atau manajemen pendidikannya.
Tetapi kewenangan
Departemen Agama itu ternyata,tidak saja substansi pendidikan agama,akan tetapi
juga meluas pada manajemen pengelolaannya..Bahkan tidak hanya itu,sekolah umum yang bernama madrasah juga
kini berada di bawah binaan Departemen Agama.
Sejarah madrasah,yang
semula merupakan fenomena pendidikan keagamaan (Madrasah diniyah ataupun majlis
taklim)memang berangkat dari ranah pendidikan.Aspek histories inilah barangkali
alasan paling kuat mengapa kemudian madrasah,walau sudah dikategorikan menjadi
sekolah umum,tetap berada di bawah pengelolaan Departemen Agama,hingga saat
ini.
Lingkup kewenangan
Departemen Agama yang luas ini kalau mau dibandingkann dengan Negara Islam
Timur Tengah maka kurang lebih sepadan dengan Wizaratul Auqof plus wizaratul ta‘lim di sana. Penyebutan kementrian agama sendiri
(wizaratuddiniyah)sebenarnya bahkan tidak ditemukan di sana.
Kesimpulan bahwa jarang
sekali di dunia yang memiliki kementrian agama semacam ini seringkali
melahirkan tanda Tanya.Misalnya,apakah kewenangannya tidak sebatas mengatur
kehidupan keberagamaan,ataukah juga melayani kebutuhan orang beragama,termasuk
umpamanya kebutuhan sekte-sekte dan aliran yang biasanya lahir dari setiap
agama?
Aturan umum di Negara
sekuler biasanya hanya berisi pengaturan sebatas iklim keberagamaannya
saja.Misalnya kebebasan keberagamaannya,atau masalah toleransi antar umat
beragama.Bahkan masalah moral bangsa pun tidak perlu menjadi persoalan
agama.Ini karena agama sudah dianggap
sebagai persoalan pribadi masing-masing orang dan masyarakat.
Mungkin karena Indonesia
bukanlah Negara sekuler maka yang diurus oleh Departemen Agama tidak sekedar
persoalan moralitas beragama layaknya di Negara sekuler,tetapi juga termasuk
substansinya,misalnya persoalan zakat,wakaf,pernikahan,haji,dll.Bahkan oleh
karena kemajuan Departemen Agama juga,hal lain yang berbau agama,sungguhpun
sebenarnya sudah merupakan agenda persoalan di departemen lain,Departemen agama
mempunyai keperdulian dan kewenangan untuk ikut serta
mengurusnya.Contohnya,masalah pendidikan madrasah itu.
Pasal-pasal agama dalam
peraturan perundangan yang melegitimasi kewenangan pemerintah dalam mengurusi
agama sekaligus membantah sementara kalangan yang beranggapan bahwa Negara
tidak ada hak mengatur agama.Inilah di Indonesia yang tidak meletakan masalah
agama hanya terbatas pada persoalan individu,akan tetapi memiliki segi-segi public
di mana pemerintah bila perlu malah dituntut mengaturnya.
Sampai di sini,batasan
wilayah kewenangan pengurusan agama ini sebenarnya masih bisa dikatakan kurang
jelas.Ini dapat dilihat misalnya dari beberapa polemic yang pada intinya
bermuara pada batas wewenang Departemen Agams.Misalnya,Departemen Agama digugat
kewenangannya dalam menentukan suatu aliran agama sesat atau tidak.Tren
kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini sedang gencar melakukan kampanye
sulit dan ganjil dan mustahilnya penjatuhan vonis sesat yang dilakukan oleh
Negara atas sebuah keyakinan yang diyakini dan dianut oleh individu bangsa.
Pada isi penddidikan yang
di kelola Departemen agama juga tidak luput dari masalah,selain masalah
klasik,mengapa pendidikan yang sudah memiliki Mentri tersendiri ,ikut di
tangani Departemen Agama adalah masalah perubahan manajemen penddidikan dari
Desentralistrik.Timbulnya masalah manajemen pendidikan ini di pengaruhi
utamanya oleh implikasi yang di timbulknnya.misalnya nasib Madrassah yang
menjadi aneh di tengah kawan-kawannya yang sudah desentralistrik.lalu adanya
kebijakan pengelolaan atas Madrasah yang sering kali tertinggal dan selalu di
pihak yang kurang beruntung di banding nasib sekolah,oleh karena anggaran dan
kebijakan selalu lahir di lingkungan sekolah terlebih dahulu,baru kemudian
merambah madrasah.itupun besarannya selalu lebih menguntungkan sekolah.
Perlu di mengerti
juga,sebenarnya tidak semua agama di Indonesia merasa happydi atur oleh Negara
.Umat Muslim sendiri tidak berarti tidak ada rasa khawatir terhadap kewenangan
pemerintah mengatur masalah-masalah keagamaan.Misalnya pesantren,diam-diam
mereka menyimpan tingkat kekhawatiran paling tinggi selepas UU Sisdiknas
diundangkan.Alasannyaa karena (1)khawatir identiasnya akan memudar oleh campur
tangan Negara dan (2) kultur pesantren yang umumnya berupa ‘kerajaan –kerajaan
kecil”di mana para kiyai dan keluarganya sangat berkuasa mungkin akan
terganggu.
Lebih-lebih Agama
katolik.rasa khawatir sangat tampak dari protes-protes mereka menjelang
pengundangan UU Sisdiknas.Umat Kristiani bisa di bilang lebih
tertutup.Kenapa?karena kewenangan peraturan pendidikan dan agama,pada agama
katolik di serahkan kepada kekuasaan gereja.Mengapa umat kristiani tampak
paling menolak UU Sisdiknas telah memasuki wilayah agama,yang dalam tradisi
Kristiani menjadi wilayah gereja.
Tradisi umat kristiani
ini sangat berbeda dari islam yang sifat kedekatannya dengan Negara relative
lebih terbuka.urusan pendidikan maupun agama juga tidak terstruktur hirarkis di tangan masjid atau kiyai
sebagaimana dalam agama kristiani.karena tambah lagi ,hirarki kepengurusan
agama katolik terstruktur hingga vatikan,edangkan islam dimana pun tidaak
memiliki hirarki semacam itu.
Itulah rahasianya,mengapa
kemudian umat islam berdiri membela UU Sisdiknas ,vis a vis umat
kristiani.karena keterbukaan atau bahkan ketergaantungan umat islam pada Negara
memang lebih merupakan alasan situasional disbanding kaum nasrni.
Pendidika agama dan Keagamaan
Dalam peraturan
perundaang-undangan RI yang lama seperti pada UU RI No.2 tahun 1956,agama-agama
tertentu memaang pernah di sebut secara ksplisit,yakni agama
islam,Kristen,katolik,hindu,dan budha.penyebutaan kelima agama ini sering
menimbulkan penafsiran begini:”agama resmi yang di akui Negara”terebut
sesungguhnya tidak pernah ada.dan maknanyapun tidak benar demikian.
Penafsiran yang benar adalah
kenyataan dewasa ini,terutama di departemen agama yang hanyaa memiliki lima
Direktorat yang menangani urusan agama,bahwa seolah-olah yang mendapatkan
pelayanan agama hanyalah ke lima agama itu,benar adanya.sedang yang
lainnya”tidak mendapatkan pelayanan”dari Negara mereka yang tidak menikmati
fasilitas pelayanan ini ,memaknai sikap Negara seolah-olah “tidak
mengakui”legalitas keberadaan mereka.
Yang di makssud pelayanan
agama misalnya adanya subsidi Negara
yang di alamatkan secara rutin kepada 5 Agama pernikahan secara agama hanya di
layani jika para mempelai adalah penganut salah satu 5 Agama.pelayanan agama
ini tidak termasuk pelayanan hak-hak sipil oleh Negara.misalny pemberian
jaminan keamanan,memperolehan hak-hak seperti biasa yang bisa di nikmati oleh
waarga Negara lainnya.kalaau pelayanan yang terakhir ini mereka memperolehnya.
Jikalau kalimat”agama
resmiyang diakui Negara “tidak pernah ada dan tidak pernah benar,semestinya
semua pemeluk agama berhak atas perlakuan yang sama.Jika pelayanan ini
diberikan untuk semua agama,yang diakui atau tidak diakui,yang legal atau tidak
legal (karena tidak ada kategori semacam ini),maka kekhawatiran atas Departemen
Agama dipastikan akan semakin menggelembung.Misalnya semua agama yang hidup di
Indonesia akan meminta pelayanan agama dengan ukuran pembukaan direktorat
urusan tiap-tiap agama.Tetapi itulah konsekuensinya.
Penggelembungan masalah
tadi belum termasuk kelompok-kelompok sempalan agama,atau yang menyatakan
dirinya murni agama baru,yang keduanya akhirnya mengaku sebagai agama
tersendiri dan berhak memperoleh pelayanan serupa.
Kasus pro- kontra
pasal-pasal agama dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003bisa diambil sebagai
contoh.UU tersebut menyebut”pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan”sebagai
model baru bentuk pelayanan Negara dalam memenuhi kebutuhan umat beragama di
Indonesia.Pendidikan agama adalah persoalan salah satu mata pelajaran di
sekolah / madrasah umum,atau mata kuliah di perguruan tinggi.Sedangkan
pendidikan keagamaan adalah lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini
berkembang di masyarakat seperti pesantren,diniyah,sekolah minggi
Buddhis,Pabbajja samanera,dll.
Pertanyaannya,agama
apakah yang dimaksud sesungguhnya oleh UU Sisdiknas tersebut?5 negara
tertentu,taukah semua agama?Bagaimana pula dengan aliran atau sekte di setiap
agama,apakah akaan memperoleh hak pengajaran agama sehingga benar-benar sesuai
dengan keyakinan yang dipeluk?
Dalam hal ini agama
Konghucu berulangkali datang mempersoalkan masalah tersebut.Pasalnya,penganut
Konghucu seharusnya juga memperoleh layanan pendidikan agama seperti yang
tertera dalam UU.Agama Konghucu jelas menolak kalau pelajaran agama yang
digunakan untuk mengajari putra-putri mereka bukanlah agama Konghucu seperti
yang mereka anut.
Kasus yang sama juga
terjadi pada sekte Yehowah dalam agama Kristen ,mereka pernah mempersoalkan hal
ini dan menuntut agar dalam UU ada jaminan murid bersekte Yehuweh akan di beri kepercayaanYehuweh.Meski Yehuwa
adalah sekte Kristen akan tetapi mereka tidak mau di ajari oleh orang Kristen
oleh karena perbedaan –perbedaan keyakinan yang sangat prinsipil.
Jika pelayana terbatas
pada agama tertentu dan menafikan pelayanan kepada agama lainnya tanpa alasan
yang jelas,maka maknanya Negara sesungguhnya telah melakukan tindakan
diskriminatif atas para pemeluk agama.tetapi misalnya apakah agama seperti Konghucu dan Sekte yohewah tadi masuk dalam
kategori agama.
Ini juga akan berbuntut
lagi,jika ukuran agama adalah keyakinan maka kelak orang muhammadiyah juga
tidak Mustahil menuntut guru dari Muhammadiyah juga,sebab banyak orang
MUhammadiyah tidak mau di ajar islam dengan
caara NU dan vice versa
.seperti orang syiah juga tidak akan mau di ajar oleh orang sunni.
Sesungguhnya pasal 12
ayat (2)a UU Sisdiknas tentang hak peserta didik memperoleh agama yang sesuai
dengan peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,sudah secara
otomatis menjamin hak semua agama,termasuk Konghucu atau sekte-sekte dalam
agama.Namun ternyata dengan ini saja banyak agama (atau yang belum resmi
disebut agama)tidak merasa puas dengan kesimpulan inplisit pasal 12.Ketidak
puasan seperti ini bagi pemerintah memang cukup rumit juga,karena di
khawatirkan akan semakin melebar.Misalnya kelak akan datang lagi agama-agama
yang baru dan menuntut hak serupa.
Sebabnya,selain meminta
jaminandari pasal 12 tentang pendidikan agama,Konghucu juga sah-sah saja
menuntut agar pelayanan terhadap pendidikan keagamaan yang berkembang dalam
agama Konghucu juga mendapatkan pelayanan yang sama.
Antara Desentralisasi dan Sentralisasi
Isu demokratisasi yang
paling mengemuka dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 dapat ditelusuri melalui
dua hal yang akan berjalan secara simultan,yaitu pemerdayaan masyarakat dan
pemerdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah).Proses demokratisasi pendidikan
ini mempunyai arti peranan pemerintah yang selama ini amat besar akan
dikurangi,sementara partisipasi masyarakat dan diperbesar.peranan pemerintah
pusat yang bersifat sentralistik yang berlangsung selama 50 tahun lebih akan
diperkecil dengan memberikan perannan yang lebih besar kepada pemerintah
daerah.
UU Sisdiknas membagi
kewenangan pemerintah pusat kini terbatas pada penentuan kebijakan nasional dan
standar nasional pendidikan saja untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal
50 ayat 2).pemerintah propinsi diberi kewenangan melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan,pengembangan tenaga pendidikan,dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabuten / kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah,sementara pemerintah kabupaten / kota diberikan tugas mengelola pendidikan
dasar dan pendidikan menengah,serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan
local.Selain itu,pemeerintah pusat atau pemerintah daerah memiliki kewenangan
mengeluarkan izindan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun
pendidikan non formal (pasal 62 ayat 1),sesuai dengan tugas kewenangan
masing-masing.
Jika kewenangan
Departemen Agama dalam pengelolaan pendidikan tidak pernah di sebut –sebut
ekplisit,lalu bagaimana memahami kedudukan penddidikan di bawah binaan
Departemen Agama dewasa ini? Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan ke uangan antara pemerintah
pusat dan daerah,urusan departemen agama adalah sentralistik.
Pasal 7 ayat (1) dalam UU
No.22 tersebut menyatakan bahwa kewenangan daerah mencaakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan,kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan keamanan
,peradilan,dan fiscal,agama seta kewenangan bidang lain.
Pertanyaan lain yang
sering mengemuka:apakah Madrasah dan pendidikan keagamaan termassuk dalam
bidang pendidikan ataukah bidang Agama?
Secara dangkal kita dapat
memahami baahwa Departemen Agama dalam menangani Agama tentu secara
sentralistik sedangkan perannya dalam pengelolaan masalah pndidikan,seharisnya
tetap mengikuti peraturan ekonomi di bidang pendidikan,sesuai asas lex spesialis dalam aturan perundang-undangan.
Husni Rahim (2005),dalam makalahnya tentang
kedudukan Madrasah di era otonomi mengutip dua pendapat yang pernah muncul :
Pertama: yang mengaatakan
bahwa pendidikan agama dan penddidikan lain yang di asuh Depatemen agama tidak
di otonomikan sebagaimana maaksud asl 7 ayat satu dari Unang-undang No.22 tahun
1999.Ini berarti pendidikan di Departemen Agama di kategorikan sebagai bagian
dari siistem Agama,bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kedua: yang mengatakan
bahwa pendidikan Agama dan pendidikan yang di kelola Departemen Agama adalah
bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan di otonomikan,maka
pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus di otonomikan.
Letak kesulitan penerapan
pendidikan di bawah binaan Departemen Agama yang akan di Desentralisasikan,akan
berbenturan dengan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah,di mana focus pelaksanaan ekonomi daerah adalah di
Daerah Kabupaten Kota.Untuk itu,sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan
dilimpahkan oleh banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan
perekonomian daerah yang berbeda beda.Sementara masalah pembiayaan di
lingkungan departemen agama tetap menganut manajemen sentralistik.
Sampai saat ini,Departemen agama masih
secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah di seluruh
Tanah Air.Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang
madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana telah disinggung di
atas sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat secara langsung
dikelola oleh Departemen Agama.Sementara daerah menjadi pelaksana dari
kebijakan pusat seperti selama ini berjalan.Bahkan pemerintah pusat dalam hal
ini Depertemen Agama berhak menentukan jenis-jenis program dan target yang
semestinya di capai oleh masing-masing madrasah di berbagai
tingkatannya.Sekilas,kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan.Namun bila
di kaji lebih jauh,ternyata,menurut Husni Rahim(2004)pilihan ini bisa
menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul.
Pertama,sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999
dan UU No. 25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima,bidang di
atas,maka dapat di pastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah hanya berasal
dari sektor agama dan boleh jadi di tambah dari sektor pendidikan yang porsinya
sudah banyak di daerahkan.
Kedua boleh jadi madrasah tidak menjadi
bagian dari sistem pendidikan,tetapi manjadi bagian dari sisstem agama
sedangkan undang-undang di atas jusru menyerahkan pengelolaan pendidikan,sepenuhnya
kepada pemerintah daerah tingkat 11.Konsekuensinya,madrasah tidak akan pernah
mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana
madrasah itu berada.
Ketiga,boleh jadi budaya otonomi
pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari
pisat,sehingga para guru dan kepala madrasah tidak menjadi kreatif dalam
pengelolaan madrasah karena segala program dan kebijakan madrasah diputuskan
dan didisrtibusikan dari pusat.
Keempat,birokrasi tetap tidak
efisien,berbelit-belit sehingga ada persolan dari bawah tidak segera teratasi
Jika alternatif kedua menjadi pilihan,maka
Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah dan sejenisnya ke tangan
pemerintah daerah tingkat 11.Itu berarti Departemen Agama (pusat)akan
“kehilangan" sasaran pengelolaan madrasah.
Agama dalam
Undang-undang Guru dan Dosen
Dua tahun setelah pengesahan UU
No.20 Tahun 2003,lahirlah UU No.14 tentang Gura dan Dosen.Pertanyaannya apakah
dalam UU Sisdiknas tidak di atur
pendidikan,dalam hal ini termasuk Guru dan Dosen? Jawabannya,pendidik termasuk
di atur dalam Bab tersendiri.Tetapi desakan dari bawah mnyatakan bahwa UU
Sisdiknas kuraang memadai dalam pengaturan pendidik,terutama pada sisi
peningkatan mutu pendidik menjadi tenaga professional dan kesejahteraannya.UU
Sisidiknas hanya mengatur hanya mengatur kualifikasi pendidik dan pembinaan
kariernya yang kurang lebih ssama dengan UU sebelumnya sehingga di anggap tidak
ada kemajuan apa-apa di dalamnya.Padahal pendidik lah pelaku Reformasi
penndidikan yang sesungguhnya.
UU guru dan Dosen sebenarnya dalah
lanjutan proses Reformasi setelah UU Sisdiknas di tengah penerapan UU
Sisdiknas,kondisi di lapangan menunjukan bahwa Indonesia sesungguhnya mengalami
situasi Brain drain tenaga pendidik.orang-orang pandai banyak
eksodus meniggalkan profesi pendidik untuk menari kehidupan dengan penghasilan
yang lebih layak.jadilah tenaga pendidik di isi oleh orang-orang yang secara
berkualifikasi akademik berada si lapis setelahnya (bukan The Best) ,keculi sebagian yang memilihnya dengan “panggilan
nurani.untuk mendidik bangsa.mereka mengaku lalu berpenghasilan sedikit tetapi
hati mereka puas dan merasa kayak arena bisa menunaikan tugas mulia,yakni
mendidik angsa.
Banyak survey membuktikan bangsa Indonesia
ternyata emilih profesi guru sebagai pilihan buntut (akhir),misalnya ada yang
menjatuhkan pilihannya menjadi guru rata –rata di urutan ke enam setelah
pilihaan menjadi PNS.Merekaa realistis saja,bahwa tuas mulia sebagai pendidik
tidak bisa berjalan baik dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan.
Akhirnya banyak para peenggemar hati
penidikan,terutama rganisasi-organisasi guru (PGRI,misalnya) menilaai bahwa UU
Guru adalah hal yang sangat strategis sebaaik apapun sebuah Negara mampu
mengeluarkan produk perturan perundang-undangan mengenai pendidikan,akan tetapi
apabila tidak di sertai dengan perbaikan mutu dan kualittas ppendidik,ternyata
ddi rasakan sangatlah kurang efektif untuk bisa segera menyelesaikan
masalah-masalah fundmental.
UU Guru dan Dosen kemudian menjadi
Rformassi Indonesia di bidang penddidik.UU ini bertujuan untuk meningkatkan
martabat penddidik dengan menjadikan mereka tenaga professional penghasilan
mereka di jamin ddi atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok tunjangan
yang meleekat pada gaji,serta penghasilan lain berupa tunjangan lain,tunjangan
fungsional,tunjangan khusus,dan maslahat tambahan yang terkait.penghasilan
tersebut berlaku untuk peendidik di sekolah negeri maupun swasta.untuk menjadi
pendidik pofesional,seorang pendidik di haruskan meemenuhi beberapa
persyaratan,antara lain memenuhi kualifikasi akademik minmal,dan memperoleh
“sertifikat Profesi) terlebih dahulu.
UU baru ini kalau di kaitkan dengan nasib
enddidikan islam,terutama yang berada,di bawah binaan Departemen Agama ukup
bnyak menunjang pertanyaan.Misalnya siapa yang akan engelola sertifikasi
profesi pendidik di lingkungan depag.apakah juga Depdiknas? Lagi-lagi
persoalannya berporos ke masalah pendidikan Indonesia yang mengacu pada satu
sistem dengan pimpinan Depdiknnas,sehingga Depag dalam hal itu akan menjadi
makmum dengan sederet agenda ang selalu akan tertinggal.
Apa lagi kaalau ini kita analogikan ke
UU Sisdiknas,ketentuan pendidikan ke agamaan adaanya sangat
umum,sedikit,singkat,dan sesungguhnya kurang jelas itu akan di arahkan ke mana?
Apakah UU sisdiknas dan UU Guu dan Dosen
ini akan benar-benar ppunya pengaruh signifikan terhadap penddidikan
keagamaan,misalnya?seharusnya ya.dalam UU Sisdiknas sudah di peroleh pengakuan
penyederatannya dengan pendidikan formal lain melalui pemenuhan persyaratan
yang di perlukan ini mempunyai makna guru dan Dosen di lingkungan pendidikan
keagamaan juga harus memperoleh pelayanan yang sama.
Siapakah pndidik di lingkungan pendidikan
keaagaamaan? Mereka bukan hanya Guru dan dosen,akan tetaapi juga ustadz dan
terkadang para kiyai.maka ada baiknya jika ke depan juga di pikirkan oleh
bangsa ini apakah penghargaan kepada kaum agamawan aakan menjadi kebijakan baru
masa depan? Sebagai mana yang terjadi di negaara lain,khotib dan imam di
Masjid-Masjid mendapat gaji dan tunjangan dari pemerintah.
Penggaajian atas khotib dan imam di
Majid-Masjid tersebut,sedikitnya ada dua ke untungan akan di peroleh dari sana:
Pertama :sistem penggajian imam dan khotib
di Masjid –Masjid akan memberi ruangan lebih lebar bagi pendidikan keagamaan
dan lulusannya,sselebar lapangan kerja yang selama ini emang menjadi lahan
mereka;
Kedua
;isstem penggajian imam dan khotib di Masjid –Masjid akan lambat laun
menjadi trigger bagi peningkatkan stanndar kualitas imam/hoib
secara umum,setelah selama ini ke mampuan mereka sangat bergam dan tidak ada
standar yang di pakai.
Di Turki,sistem khottib dan imam di
persiapkan dalam bentuk sekolah tersendiri penggajian atas mereka di jaamin
dalam UU.selain untuk menyediakan lapangan kerja dan peningkatan standar mutu
khotib dan imam,kebijakan UU Turki ini juga ddi manfaatkan untuk meredam
gejolak buruk yang sering kali timbul dari kalangan komunitas muslim garis
keras.
Beberapa kemungkinan dan harapan semacam
ini jangan di biarkan tidak kelihatan,selain karena pendidikan keagamaan masih
baru di akui UU,pengatuannya juga maih sangat umum.Detailnya belum ada contoh
sebelumnya.
Social Media