A.
PEMIKIRAN TENTANG HAKEKAT ILMU.
Di dalam memahami ilmu, Al-ghozali mendasarkan
pemikiranya pada ajaran-ajaran agama (Islam) oleh karena itu sebagian ahli
mengatakan bahwa epistimologi al-Ghozali adalah epistimologi islam.Dengan
menghadapkan landasan dan pola berfikirnya itu kepada seluruh hasil pemikiran
aliran-aliran yang berkembang didunia islam pada masanya,dia mengalami rasa
syak yang menyebabkan dia berada dalam
kondisi skeptis, sebab argumentasi yang disajikan mereka tidak pernah
menyakinkan dirinya untuk memahami nilai-nilai kebenaran itu. Al-Ghozali
menganggab bahwa tidak ada ketuntasan pemikiran aliran-aliran itu dalam
memahami hakekat kebenaran, dan mereka hanya sampai pada tingkat kemampuan
manusiawi semata-mata.
Sekalipun demikian al-Ghozali tetap mengakui keberadaan
(eksitensi) indra dan akal,akan tetapi kedua instrumen insaniyah itu sangat
terbatas daya capainya dan tidak mampu menjelaskan kebenaran itu secara hakiki
.bagi al-Ghozali kebenaran itu bukan hanya terbatas pada kebenaran indrawi
(kongkrit),tetapi dibalik kebenaran yang nyata itu terselip suatu kebenaran
abstrak yang nyata pula adanya.Kebenaran kongkrit adalah kebenaran yang dapat
dipantau melalui panca indra; dapat dilihat; dirasa, didengar bahkan juga
dicerna dengan akal fikiran.Kebenaran itu disebutnya
kebenaran(pengetahuan)”mumalah”.Yaitu pengetahuan yangdapat ditulis secara
sistematis dan berhubungan dengan kata-kata,yakni hal-hal yang dapat diterima
dan dipelajari dari orang lain (Ali issa OTHMAN ,1987:68). Sedang kebenaran
abstrak berada dialam ide, transendentdan nyata adanya, ia disebut pengetahuan
“mukasyafah”.Pengetahuanini sulit ini sulit ditembus dengan kata-kata tidak
dapat diungkap dengan pembicaraan,ttidak mampu indrawi menjamahnya dan tidak
kuasa akal meluluskanya.
Al-qur’an dan hadist adalah jalan (thoriqoh) untuk
memahaminya. Karena
mukasyafah merupakan kebenaranyang bersifat vertikal, dari langit dan
bermuara langsung pada Allah. Bahkan kebenaranmukasyafah itu adalah kebenaran
tentang Allah itu sendiri. Artinya dengan sampai pada tingkat mukasyafah
berarti manusia telah mendekati pemahaman tentang Ilahi. Lebih jauh al-Ghozali
didalam kitab ihya-nya memberikan definisi tentang pengetahuan mukasyafah ini
ialah “ilmu yang hanya untuk mengetahui apa yang yang perlu diketahui tidak
perlu diamalkan” (al-Ghozali, 1957 : 4).
Artinya peran utama memahami ilmu itu terletak pada hati yakni keyakinan yang
mampu menerimanya dengan bantuan Allah Berarti pula ilmu itu merupakan ilmu
tentang keyakinan pada pencipta ,yang mengetatahui segala bentuk ilmu dan yang
memiliki itu sendiri.
Dengan demikian ilmu itu hanya mampu dibuka dengan kunci
dan jalan yang dibentangkan oleh Allah untuk sampai kepada tingkat mukasyafah
itu. Di wiilayah mukasyafah terletak kepercayaan, sebab kepercayaan tidaklah
semata-mata berdasarkan penelitian,melainkan
umumnya terjadi karena bisikan,ketukan hati yang datangnya bukan dari
manusiatetapi ia berasal dari kekuatan maha pencipta dalam bentuk “ilham”.
Ilham merupakan: pengetahuan yang diperoleh dalam kebangkitan“ .( lihat Ali Issa
Othman :67), ia merupakan pengungkapankepada manusia pribadi yang disampaikan
kepadanya oleh Allah pemilik ilmu itu melalui batinya .Oleh karena itu dengan
oleh batinya manusia sampai pada tingkat mukasyafah. Di sinilah letak
perbedaan al-Ghozali dengan filosof
muslim yang sebagian besarnya mengandalkan peranan akal.Bahkan mereka yakin
bahwa akal bisa sampai pada pengetahuan ilahi yang disebut mereka dengan teori
metafisikanya yang terkenal dengan istilah teori sepuluh inteligensia (sepuluh
akal), yang merupakan perpaduan antara teori Aristotales dan emanasi Neo
Platonisme dengan islam[1]
B.
REFLEKSI
Sebagaimana diutarakan diatas bahwa pada prinsipnya
hakekat ilmu menurut al-Ghozali adalah satu (monokhotomik)yaitu ilmu
semata=mata milik Allah.sedang manusia diberi untuk mencari dan mengembangkanya,
artinya pengembanganya tergantung kepada kemampuan manusia dan disatu sisi
manusia itu sendiri mampu mengembangkanya dengan pengetahuan muamalah yaitu
ilmu yang “diperoleh”berdasarkan kemampuan manusia, disisi lain manusia
memilikimketerbatasan pencapaian daya untuk mengembangkanyakaitannya dengan
pengetahuan mukasyafah yaitu ilmu yang termasuk dalam kata gori yang ”dicapai” karena
untuk memahaminya tidak bisa manusia itu sendiri melainkan harus oleh
pemilikilmu itu sendiri, artinya pada dasarnya manusia harus dibantu oleh Allah
untuk mencapainya,
Untuk itu manusia diwajibkan untuk taqorub pada Allah
swt, agar mendapatkan petunjuk-NYA sebab dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak bisa lepas dengan ilmu .sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.artinya
“Barang siapa menghendaki dunia dengan ilmu dan barang siapa menghendaki
akhirat dengan ilmu dan barang siapa menghendaki keduanya juga dengan
ilmu” dan kebenaran ilmu itu datangnya hanya dari Allah. sebagai mana
firmanNya yang artinya:Kebenaran itu adalah dari tuhanmu,sebab itu janganlah
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. ( Al-Baqarah 197).
C.
PENUTUP.
Demikian penulisan
pemikiran al-Ghozali tentang hakekat ilmu,bahwa ilmu bersumber dari
monokhotomik yaitu ilmu yang semat-mata merupakan milik Allah swt. Penulisan
yang sangat singkat masih banyak kekurangan disana sini semoga pra pembaca
berkenan memperbaikinya. Amin dan bermanfaat
adanya.
Social Media